Wednesday, April 28, 2010

Mengunjungi Para Pelaut Indonesia di Nankang

Hari Sabtu malam (24/04/2010) kami berkesempatan mengunjungi warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut, anak buah kapal penangkap ikan, di daerah Nankang, Taiwan bagian Tenggara. Reportase selengkapnya dapat dibaca di sini.

Monday, February 22, 2010

Ketika Cinta Bertasbih di Awal Musim Dingin

Taiwan sudah mulai memasuki musim semi, meskipun udara dingin masih kerap datang menusuk tulang. Bunga-bunga pun mulai bermekaran mengiringi warga yang bersiap-siap beraktivitas kembali usai melewati libur tahun baru Imlek dengan mengunjungi sanak kerabat.

Libur tahun baru Imlek, yang di Taiwan berlangsung selama sembilan hari, juga merupakan saat yang dinantikan oleh sekitar seratus ribu buruh migran Indonesia (BMI) yang sedang mengadu nasib di negeri yang kerap dilanda angin topan ini. Bukan saja karena pada saat itu mereka akan berkesempatan menerima angpao yang pada beberapa tempat kerja jumlahnya bisa mencapai satu kali gaji, namun juga karena saat itu merupakan kesempatan yang langka untuk sejenak rehat dari rutinitas kerja yang melelahkan.

Seperti telah menjadi tradisi, saat libur tahun baru Imlek juga acap dimanfaatkan oleh para buruh migran Indonesia untuk memperkukuh keimanan dengan mengadakan pengajian berskala besar, sebagai gong dari pengajian rutin yang juga ajeg diadakan bersama para mahasiswa.

Salah satu yang aktif menyelenggarakan acara pengajian itu adalah para buruh migran yang bekerja di seputar Tainan, kota budaya dan ibukota lama Taiwan yang terletak di Taiwan bagian Selatan. Tahun lalu misalnya, mereka yang berhimpun dalam wadah Forum Komunikasi Keluarga Besar Warga Indonesia di Taiwan (FKKBWIT) mendatangkan Kiai Emha Ainun Najib dan istrinya, Novia Kolopaking. Tahun ini, FKKBWIT menghadirkan Ustad Habiburrahman el Shirazy, penulis novel laris Äyat-Ayat Cinta" dan "Ketika Cinta Bertasbih" untuk membantu mengukuhkan kembali iman mereka.

Menjaga iman tetap kukuh di tengah tekanan pekerjaan yang bahkan sering dikeluhkan tak memungkinkan guna menunaikan sholat lima waktu, sungguh merupakan ikhtiar yang tak mudah. Apalagi bila ditambahkan kenyataan-kenyataan seperti tidak mudahnya menemukan makanan halal, masjid yang hanya berbilang enam di seluruh negeri, atau betapa wanita berjilbab masih sering dilihat dengan pandangan mata aneh.

Oleh karena itu, kemarin (21/02), adalah saat pemandangan langka kembali hadir di Tainan. Sejak pagi hari, lelaki dan perempuan yang sebagian besar berjilbab berduyun-duyun menuju lapangan sebuah sekolah dasar yang letaknya tak begitu jauh dari stasiun kereta api Tainan dan Taman Kota Tainan, tempat para buruh migran biasa melewatkan libur hari Minggu.

Acara pengajian semacam ini adalah juga kesempatan bagi para buruh migran untuk unjuk kreasi. Sejak pukul 10 pagi, kelompok band, kasidah, atau rebana dari berbagai perkumpulan buruh migran dari berbagai wilayah di Taiwan bergantian unjuk kebolehan menghibur sekitar seribuan warga Indonesia yang hadir dari seluruh penjuru Taiwan.

Setelah didahului beberapa sambutan, sekitar pukul 2 siang Ustad Habiburrahman el Shirazy pun naik panggung. Dengan gaya pembawaan yang menarik, diselingi dengan humor membuat ceramah selama dua jam seperti tak terasa. Beberapa jemaah pun sempat mengajukan pertanyaan, baik menyangkut fikh maupun karya-karya sastra beliau. Pukul empat sore lebih sedikit, Kang Abik, panggilan akrab Habiburrahman el Shirazy, pun menutup Pengajian Musim Dingin di awal musim semi dengan memunajatkan doa bersama-sama.

Friday, December 25, 2009

Kala Nonkristiani Merayakan Natal

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan di Tainan City

Tak pelak lagi, Natal adalah perayaan paling semarak dalam kalender umat Kristiani sejagat. Pemeluk Kristen yang jarang mengunjungi gereja pun biasanya tak melewatkan kesempatan merayakan hari raya yang sebagian umat meyakini jatuh pada tanggal 25 Desember, sementara sebagian yang lain merayakannya di awal Januari.

Kemeriahan perayaan Natal juga disumbang oleh bertransformasinya Natal dari sekedar aktivitas keagamaan menjadi sebuah kegiatan budaya dan komersial. Setidaknya, hal inilah yang tampak terlihat jelas di Taiwan. Padahal, sekitar 93% dari 23 juta penduduk Taiwan adalah penganut tradisi yang merupakan perpaduan antara Budha, Konghucu, serta Tao, dan hanya 4,5% saja yang memeluk Kristiani. Akan tetapi, bila melihat hiruk pikuk penduduk dalam menyambut perayaan Natal, terasa seolah-olah Kristen adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Demikian juga yang terlihat di Tainan, sebuah kota budaya yang juga ibukota Taiwan masa lampau. Sejak sebulan sebelum hari Natal tiba, seluruh penjuru kota telah sibuk berhias. Pohon terang terlihat dipajang di sekolah, universitas, pusat perbelanjaan, kantor, asrama, juga di tempat-tempat publik lainnya. Sosok penjaga toko berpakaian ala sinterklas amat lazim ditemui. Lagu-lagu Natal pun menjadi akrab di telinga. Di beberapa sudut kota, tak jarang terlihat sekelompok orang memainkan alat musik, melantunkan kidung-kidung Natal. Bahkan, terdapat beberapa pertunjukan musik dan kemeriahan lainnya yang sengaja diselenggarakan secara khusus guna merayakan Natal.

Pohon terang beragam ukuran dan bermacam-macam hiasan Natal juga dipajang di hampir setiap lantai di departemen tempat saya belajar, yang menempati sebuah gedung berlantai tujuh. Saya pernah bertanya kepada seorang staf departemen tentang kemungkinan banyak mahasiswa yang beragama Kristen sebagai alasan pemasangan ragam atribut Natal itu. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jawabnya. Apakah para dosennya? Ternyata, meskipun hampir seluruhnya lulusan Amerika Serikat, tidak satu pun yang memeluk Kristiani. “Lalu, mengapa tampak bersemangat memajang pohon terang?” tanyaku ingin tahu. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak punya jawabannya. Segala kemeriahan itu semakin terasa janggal bila mengingat bahwa hari Natal bahkan bukan merupakan hari libur. Kantor-kantor tetap buka dan sekolah-sekolah pun tetap masuk.

Memang, berlainan dengan di Indonesia yang perayaan Natal selalu juga berperspektifkan teologis, perayaan Natal di Negeri Formosa ini lebih condong sebagai peristiwa budaya dan komersial. Persis sama dengan saat orang merayakan tahun baru. Karenanya, meski bukan penganut Kristen, mereka rela menembus malam-malam yang menggigil di tengah musim dingin dan dengan penuh semangat memadati pusat-pusat perbelanjaan, memborong pernak-pernik Natal, mengirim kartu Natal, memasang hiasan Natal, dan dengan riang hati mengucapkan selamat Natal kepada semua orang. Karena itu, tak jarang kulihat wajah-wajah terkejut, heran, tak mengerti, dan penuh tanda tanya, ketika banyak kawan mengucapkan selamat Natal kepadaku namun mendapatkan jawaban aneh nan tak terduga, “Sorry, I am a Muslim and I don’t celebrate Christmas.”

Saturday, December 12, 2009

Mengunjungi TKI di Penjara Taiwan

kompleks detention center di Nantou County
kompleks detention center di Nantou County

Bersih, rapi, dan ramah. Itulah kesan yang segera tertangkap ketika kami berkunjung ke Nantou Detention Center. Hari itu, kami bertujuh, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh program magister dan doktor di berbagai perguruan tinggi di Taiwan, mengunjungi sebuah detention center di Nantou County, Taiwan bagian tengah. Kedatangan kami juga disertai oleh Imam Masjid Taichung, karena sesuai prosedur yang berlaku setiap kunjungan orang asing haruslah disertai oleh warga Taiwan.

Di gerbang depan, kami menyerahkan ID card untuk ditukar dengan kartu pengunjung, menjalani pemeriksaan suhu tubuh, dan disemprot cairan disinfektan. Di pintu masuk dalam, beberapa petugas menyambut kami dengan ramah. Seorang wanita petugas humas menjelaskan ada sekitar 20 detainee pria dan 60 detainee wanita yang berkewarganegaraan Indonesia di detention center tersebut. Karena pertemuan dengan detainee pria dan wanita akan dilangsungkan di lantai yang berlainan, kami pun segera membagi barang-barang yang kami bawa.

Sementara kawan-kawan putri pergi ke lantai dua untuk menjumpai detainee wanita, kami berempat menuju lantai tiga guna bertemu dengan sekitar 20-an detainee pria. Mereka tampak antusias menyambut kedatangan kami. Berseragamkan hijau muda, satu persatu mereka menjabat erat tangan kami. Banyak di antara mereka yang matanya berkaca-kaca. Barangkali mereka bersedih dengan keadaan yang sedang mereka alami atau teringat sanak keluarga di tanah air.

barang-barang yang disumbangkan
barang-barang yang disumbangkan

Sementara petugas detention center membongkar dan memeriksa seluruh barang yang kami bawa untuk para detainee, pertemuan pun kami mulai. Pertemuan diawali dengan perkenalan masing-masing, termasuk nama, asal, dan pekerjaan sebelum harus masuk detention center. Setelah siraman rohani singkat, kami pun mendiskusikan permasalahan yang tengah mereka hadapi. Sebelum menghuni detention center, para detainee pria umumnya bekerja sebagai anak buah kapal dan pekerja pabrik. Sedangkan sebagian besar detainee wanita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.

Permasalahan yang membuat mereka harus mendekam di detention center, sebagian besar adalah karena kabur dari kapal, pabrik, majikan, atau agen mereka. Tindakan itu terpaksa mereka lakukan karena kecilnya gaji yang mereka terima (bahkan ada detainee yang mengaku tidak dibayar selama beberapa bulan) atau tidak betah dengan majikan yang galak. Seorang detainee mengaku kabur dari agen setelah bosan menunggu lama tak juga dipekerjakan kembali setelah majikan lamanya meninggal dunia. Ada pula detainee yang beralasan kabur dari agen karena kesal hak-haknya atas uang libur dan sejenisnya ditilap. Nasib apes dialami seorang detainee wanita, yang langsung digelandang ke detention center itu begitu menginjakkan kaki di bandara Taiwan. Ternyata, sebelumnya ia telah pernah dideportasi dari Taiwan karena melarikan diri dari majikannya. Hebatnya, ia nekat mencoba kembali masuk Taiwan, yang akhirnya berakhir di detention center.

Detainee pria terlama, bekas pekerja pabrik berasal dari Tegal, telah menghuni DC Nantou selama 3 bulan. Sementara detainee wanita terlama mengaku telah mendekam di tahanan imigrasi itu selama 7 bulan karena kasus kawin kontrak dengan seorang warga Taiwan.

berfoto bersama para penjaga Nantou Detention Centerberfoto bersama para penjaga Nantou Detention Center (berjaket merah adalah
Imam Masjid Taichung)

Para detainee mengharapkan bantuan keuangan untuk dapat segera keluar dari detention center tersebut. Setiap orang rata-rata membutuhkan dana minimal NT $ 18,000, yang terdiri atas NT $ 8,000 untuk biaya tiket pesawat dan sisanya guna membayar denda. Mungkin karena bosan terkurung di tempat yang sama berbulan-bulan, mereka juga menyampaikan harapan agar kunjungan semacam yang kami lakukan dapat diperkerap. Yang menarik, tak satu pun tampak tertarik untuk memanfaatkan kesempatan ketika kami menawarkan bantuan menyampaikan pesan kepada keluarga mereka di tanah air.

Meski rasanya masih banyak yang ingin diobrolkan, waktu kunjungan kami yang singkat telah habis. Ketika kami meninggalkan pintu bangsal mereka yang berjeruji, tampak mereka bersuka cita mengambil beragam barang yang kami bawa seperti kurma (sumbangan Imam Masjid Taichung), mi, cemilan, pakaian, peralatan sholat, kitab suci Al Qurán, buku, serta majalah.

Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama para pegawai detention center. Sayangnya, usai berfoto, mereka memeriksa kamera kami satu persatu dan, dengan alasan pelanggaran atas hak asasi manusia, menghapus seluruh foto yang memuat gambar detainee.

Semoga Pemerintah kita dapat lebih memberikan perhatian kepada nasib para warganya yang sedang menderita di negeri orang…

berfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Centerberfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Center

Saturday, October 31, 2009

98,7% Vegetarian


Tiga tahun berlalu sudah. Bila saat-saat awal datang ke Taiwan terasa tak mudah menyesuaikan diri, kini, Alhamdulillah, terasa lebih mudah menikmati kehidupan. Saat beberapa waktu lampau berlibur di Indonesia, bahkan ada beberapa kawan yang meledek mataku yang katanya mulai sipit, meski warna kulit tak juga terang, ha..ha.. Bahkan, sering terasa kagok ketika harus menggunakan sendok dan garpu saat makan, gara-gara telah terbiasa menggunakan sumpit selama di Taiwan.

Di antara yang mulai terasa nyaman adalah juga soal makanan. Pada tahun pertama tak mudah menemukan makanan yang halal, bahkan tak jarang aku terpaksa dengan tidak sengaja makan makanan yang haram. Ikan oke, sapi masuk, kambing embat, ayam makan, dan juga (tak sengaja) babi (baca kisahnya di sini). Pada tahun kedua, daging sapi, daging kambing, dihindari. Daging ayam, makanan laut, dan vegetarian kini menjadi makanan pokok. Pada tahun ketiga, bersamaan dengan semakin meluasnya pengetahuan tentang warung-warung makan vegetarian, makanan vegetarian pun menjadi pilihan utama. Makan makanan laut pun bisa dihitung dengan jari.

Sebenarnya, banyak warung yang menjual daging ayam yang dimasak dengan beragam menu. Sayangnya, tentu saja kita tahu bahwa para pedagang tak menyembelihnya dengan mengucapkan atas nama Allah, sebagaimana syariat Islam. Jadilah, bila ingin sekali memakan daging ayam, kita harus pergi sendiri ke pasar tradisional, membeli ayam hidup, menyembelihnya sendiri, baru meminta sang pedagang ayam untuk membersihkan bulu dan memotong-motongnya sesuai permintaan kita.

Oleh karena itu, makan ayam adalah peristiwa yang langka dan istimewa. Selama semester enam yang lalu, misalnya, kucatat hanya empat kali makan daging ayam, yakni dua kali saat ada acara yang diselenggarakan para mahasiswa muslim, sekali saat acara pelantikan PPI Tainan, dan sekali saat pelatihan kewirausahaan di Masjid Kaohsiung. Selain itu, selain sesekali masak sendiri, lainnya adalah jatah mengunjungi lima warung makan vegetarian dan sebuah warung makan chou dou fu (tahu bau). Jadi, kalau dihitung-hitung, kira-kira sekarang sudah 98,7 % (terpaksa) vegetarian lah...

Saturday, June 20, 2009

Berkah Angin Kencang

Pagi-pagi, sekitar pukul 08:00, angin kencang sekali bertiup. Awan gelap pun menutupi langit. Padahal, belum lama berselang matahari terik sekali membagikan sinarnya. Aku segera berlari keluar memindahkan jemuran baju dari balkon lantai 2 ke tempat jemuran dalam di lantai 3, karena biasanya tak lama lagi hujan akan turun.



Karena angin bertiup amat kencang, banyak sekali buah mangga berjatuhan. Seorang ibu setengah baya berperawakan langsing terlihat bersemangat mengumpulkan puluhan mangga yang berserakan di sana sini. Ia tampak tak hirau dengan kemungkinan kepalanya kejatuhan buah mangga. Kuhitung, tak kurang dari empat puluh butir mangga berhasil ia kumpulkan.

Sekitar pukul 11:00, kembali angin bertiup kencang. Memperhatikan pengalaman pagi tadi, di mana saat angin bertiup kencang biasanya banyak buah mangga berjatuhan, kusegera berlari menengok keluar. Ah, ternyata dua orang ibu-ibu muda, tampaknya petugas kebersihan yang biasa menyapu halaman, sudah lebih dahulu berada di bawah dan sibuk berlari kesana-kemari mengumpulkan puluhan butir mangga yang rontok diterjang angin.

Sekitar satu jam kemudian, kembali angin bertiup kencang. Kembali kuberlari menengok ke bawah dari jendela toilet. Betul saja, puluhan butir mangga tak mampu menahan terpaan angin dan jatuh ke tanah. Dan yang menggembirakan, tak satu orang pun terlihat di bawah. Barangkali, "para pemungut mangga profesional" merasa telah terpenuhi targetnya dari dua periode terpaan angin kencang sedari pagi. Segera kuberlari ke bawah, dan dengan gesit kukumpulkan butir-butir mangga itu. Setelah kuhitung ternyata ada 18 butir, meski dua pertiga di antara tidak utuh lagi akibat membentur tanah dengan keras.

Saturday, June 13, 2009

Musim Mangga

Di depan dorm kami, persisnya di antara gedung Shengli 6 Dormitory dengan pelataran parkir, terdapat sebatang pohon mangga besar dan rimbun. Saat panas terik, banyak mahasiswa biasanya memilih memarkir sepedanya di bawah mangga tersebut. Banyak tupai juga suka bermain di sana. Meski bentuknya kecil, saat masak warnanya kemerahan dan rasanya manis sekali.

Saat ini sedang musim mangga, dan pohon mangga itu berbuah lebat. Petugas kebersihan dorm dan kawan-kawannya adalah kelompok pertama yang bersemangat mengambil mangga dari pohonnya. Mereka acap memanen dengan bersenjatakan galah besi yang dapat dipanjangpendekkan dan ujungnya dipasangi keranjang. Di pagi hari, saat belum banyak orang terbangun dan beraktivitas, ada pula ibu-ibu berbekalkan tas plastik mencari mangga yang berjatuhan.

Kelompok kedua adalah mahasiswa Vietnam. Berbekal galah bambu panjang, bersama-sama mereka sering berhasil membawa pulang beberapa tas kresek besar.

Kelompok ketiga adalah para mahasiswa Indonesia. Hari ini, misalnya, beberapa mahasiswa menjolok mangga dan berhasil menjatuhkan puluhan butir mangga setengah matang. Ada pula beberapa kawan yang memiliki cara unik untuk merasakan mangga manis secara gratis. Dari balkon di lantai 3, lantai tempat ia tinggal dan juga hampir sama tingginya dengan banyak buah mangga bertengger, melempar sepatu ke arah mangga-mangga tersebut. Seorang teman yang lain menunggu di bawah, bertugas melempar kembali sang sepatu kepada temannya yang berada di atas serta memunguti buah mangga yang jatuh.

Sebenarnya, tanpa usaha serius pun tidak sulit untuk dapat menikmati manisnya mangga itu. Seringnya hujan turun disertai angin kencang yang melanda Tainan membuat banyak mangga yang telah matang berjatuhan. Bila jatuh di sisi halaman parkir yang beraspal, biasanya mangga-mangga itu akan pecah. Kondisi yang sedikit lebih baik bisa diharapkan bila mangga-mangga itu jatuh di tanah yang terletak antara lapangan parkir dan dorm. Selama empat hari terakhir, misalnya, dari hasil memungut mangga jatuh saja aku mendapatkan setidaknya dua puluh butir mangga yang amat manis rasanya...