Wednesday, September 27, 2006

Teaching Assistant

Sebagai persyaratan penerimaan beasiswa, aku harus menjadi teaching assistant. Sebetulnya aku agak enggan menerima penugasan ini, karena kewajiban ini tidak disebutkan dalam brosur dan letter of acceptance yang dikirim NCKU. Tapi aku mencoba mengambil hikmahnya. Dengan demikian aku berkesempatan belajar proses belajar mengajar dari sebuah universitas dengan tradisi akademik yang tinggi (Menurut ranking perguruan tinggi terbaik di kawasan Asia dan Australia yang dikeluarkan Asiaweek, NCKU berada di urutan 16, sementara UI terdampar di posisi 61, sedang UGM di urutan 68).

Aku ditugaskan menjadi teaching assistant Prof. Shiu Yung-Ming untuk mata kuliah Risk Management. Semula aku tidak mengambil mata kuliah ini. Tapi, daripada harus nongkrong bengong di kelas, akhirnya aku batalkan satu mata kuliah lainnya, dan kuganti dengan Risk Management, yang memang dirancang untuk disampaikan dalam bahasa Inggris.

Dua jam yang lalu kutemui Prof. Shiu, setelah berjuang beberapa lama mencari tulisan nama di pintu ruang kerja dalam aksara mandarin yang sesuai dengan contekan yang kubawa. Orangnya masih muda dan amat ramah. Kami berdiskusi cukup lama tentang tugas-tugas yang akan dikerjakan dalam kelas nantinya. Tugas pertama darinya adalah melakukan modifikasi bahan ajar berdasarkan textbooks, serta aku harus presentasi urutan pertama. Wah, beban juga nih.............

Monday, September 25, 2006

Puasa Pertama

Dengan bersepeda, selama lima belas menit kami berempat menembus kota, menuju Masjid Tainan. Setiba di sana, telah menunggu beberapa orang keturunan Timur Tengah. Beberapa saat kemudian, datang 6 orang TKI dari San Hwa. Pukul 20.40, tarawih dimulai, dengan Budi, mahasiswa MBA dari Indonesia, sebagai imam. Selesai sholat, 13 jamaah dari Indonesia bercengkerama di lantai dua, dengan menikmati jeruk khas Taiwan.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Waktu menunjukkan pukul 03.30. Saat sahur tiba. Beberapa mahasiswa masih terlihat menikmati tayangan TV. Kami menikmati santap sahur dengan sayur tauge, hati ayam, dan ayam goreng yang dipesan dari Warung Indonesia. Siaran radio internet Suara Surabaya yang mengiringi, membuat suasana sahur seperti di negeri sendiri.

Saat berbuka tiba. Dua bersaudara, Hensi dan Hesti datang dengan membawa kolak ubi. Wah, sebuah kejutan yang luar biasa. Meski kehidupan sekitar sama sekali tidak menunjukkan suasana Ramadhan seperti di tanah air, namun apa yang kami rasakan di hari pertama menambah semangat kami dalam menjalani hari-hari berikutnya di bulan Ramadhan.

Saturday, September 23, 2006

Kuliah Kelima

Aku melangkah dengan lunglai. Menurut course list, kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin. Ruangan telah penuh sesak saat aku masuk. Seorang mahasiswi senior masuk, ngomong beberapa saat, sebelum kemudian membagikan kertas dan pena kepada setiap mahasiswa di ruangan. Oh, rupanya dia sedang membagikan kuesioner, dan meminta para mahasiswa untuk membantu mengisinya. Ketika sampai padaku, kulihat seluruh kuesioner ditulis dalam aksara mandarin. "I cannot read chinese characters," kataku sambil mengembalikan kuesionernya. Ia tampak terkejut, dan bertanya asalku. Kala kujawab Indonesia, ia membalas hangat, "Welcome!"

Tak lama kemudian, masuklah sang profesor, berusia sekitar 60 tahun, berkacamata dan berkaos kerah warna pink. Seperti para pengajar yang lain, ia kemudian menjelaskan course outline, grading, textbooks dan sejenisnya. Tentu saja itu hanya perkiraanku saja, karena sang profesor menjelaskan seluruhnya dalam bahasa mandarin berkecepatan sangat tinggi.

Kala break, aku maju menemuinya. Seperti sebelumnya, kujelaskan dari mana asalku, serta kendala bahasa yang kumiliki. Dia tampak terkejut, dan bertanya, apakah aku mengerti yang tadi diterangkannya. Dengan mantap kujawab, "Not at all, Professor." Namun, dia tidak keberatan aku tetap di kelasnya. Dan kala kukeluhkan course grading yang 20% akan berasal dari class participation, dia menjawab ramah, "It's OK. Don't worry about it." Alhamdulillah.

Thursday, September 21, 2006

Kuliah Keempat

Aku melangkah dengan riang ke ruang 62453. Menurut course list, kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa Inggris. Ruangan sudah hampir penuh. Aku duduk di deretan dua, di belakang dua orang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Kaohsiung.

Seorang profesor, berusia sekitar 55 tahun, memasuki ruangan. Kemudian dia berbicara sekitar 3 menit dalam bahasa mandarin, sebelum kemudian bertanya, siapa yang tidak bisa bahasa mandarin. Hanya tiga orang yang mengangkat tangan. "Don't worry. You just sit, and you'll understand," katanya.

Bahasa mandarin dan bahasa Inggris kemudian digunakannya secara bergantian. Tapi, bagiku, cara itu sungguh melelahkan. Kadang aku tidak sadar bahwa ia telah berganti dari bahasa mandarin ke bahasa Inggris, sehingga harus terus menerus memperhatikannya. Lagipula, aku merasa bahwa ada beberapa bagian yang disampaikannya dalam bahasa mandarin tidak diterjemahkannya dalam bahasa Inggris. Jadi, bahkan yang di course list tersebut akan disampaikan dalam bahasa Inggris pun, pada kenyataannya bilingual. Apalagi, kemudian sang profesor mengubah jadwal pertemuan berikutnya dari Rabu pukul 14.00-17.00 menjadi hari Minggu, pukul 19.00-22.00. Alamaaaaaakk.............

Wednesday, September 20, 2006

Kuliah Ketiga

Dalam courses list, tertulis bahwa kuliah ini akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin. Aku berharap dapat mengulang "kesuksesan" dalam kuliah sebelumnya (lihat: kuliah kedua). Seorang profesor tua, berusia sekitar 60 tahun, memasuki ruangan. Seperti profesor yang lain, ia "hanya" berkaos kerah dan bercelana bahan jins.

Seperti pengalaman kuliah-kuliah sebelumnya, sang profesor terus ngomong dalam bahasa mandarin. Sejenak kemudian, entah karena apa, ia berhenti dan menanyakan kepada mahasiswa sebelahku tentang diriku. Kemudian aku pun memperkenalkan diri dan menyebutkan kendala bahasa yang kuhadapi. Kemudian ia meneruskan berbicara dalam bahasa mandarin, tidak tahu apakah menanggapiku ataukah membicarakan hal yang lain.

Hampir 2 jam berlalu, dan kuliah pun usai. Tidak sepatah kata Inggris pun yang diucapkan oleh sang profesor. Bahkan silabus pun ditulis dalam bahasa mandarin. Nasib........................

Tuesday, September 19, 2006

Kuliah Kedua

Aku berharap-harap cemas, akankah kuliah kedua sama dengan kuliah pertama, seluruhnya dalam bahasa mandarin? Kelas telah penuh. Kemudian, masuk seorang pria berusia sekitar 40-an tahun, berkaos kerah, menuju mimbar. Aku kaget. Kutanya Li (lihat: Kuliah Pertama), "Is he the Professor?" Ia menjawab, "Yes, he is Professor Chiang." Wow, sungguh, dari gayanya, semula kupikir ia seorang mahasiswa.

Ia pun kemudian nyerocos dengan cepat dalam bahasa mandarin. Entah kenapa, tiba-tiba ia berhenti berucap. Barangkali melihat wajahku yang berbeda dari yang lain, ataukah karena melihat ekspresi ketidakpahamanku, ia kemudian bertanya, masih dalam bahasa mandarin, sambil menunjuk kearahku. Meski tak paham pertanyaannya, kugunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa internasional yang tak paham bahasa mandarin.

Luar biasa, setelah mendengarkan penjelasanku, ia kemudian memutuskan mengubah penyampaian kuliahnya. Dengan bahasa Inggris yang lancar, dijelaskan kembali apa yang telah diterangkan sebelumnya. Duh senangnya. Apalagi ketika kemudian dia berkata, "I'm happy to have you in my class." Dan kemudian, sepanjang kuliah, bahasa mandarin dan bahasa Inggris digunakannya secara bergantian. Alhamdulillah................

Kuliah Pertama

Seminar 1 terjadwal di Ruang 62455. Ketika waktu menunjukkan pukul 15.00, ruangan masih kosong. Seorang mahasiswi Taiwan bermarga Li, kemudian memasuki ruangan. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, syukurlah, ia dapat menjadi teman bicara sambil menunggu kelas dimulai. Yang mengagetkan adalah, ia tidak mengenal ketika kujawab Indonesia sebagai negeri asalku. Setelah kucoba menjawab, "Wo shi Inni ren", baru ia mengangguk-angguk.

Tepat pukul 15.10, sesuai jadwal, seorang pria berkacamata, berwajah ramah, berusia sekitar 50 tahun memasuki ruangan. Penampilannya sungguh sederhana. Berbaju kaos berkerah warna merah bata dan celana berbahan jins warna khaki. Dialah sang profesor. Sebelum kuliah dimulai, kuperkenalkan diriku, dan kendala bahasa yang kumiliki. Sang profesor tampak terkejut. Mungkin inilah kali pertama ada mahasiswa internasional di kelasnya. Diterangkannya bahwa kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin, dan dosen-dosen tamu yang diundang pun akan berbicara dalam bahasa mandarin.

Terdapat sepuluh orang mahasiswa di kelas, dan aku adalah satu-satunya mahasiswa yang bukan orang Taiwan. Suasana kelas tampak hidup. Mereka berdiskusi dengan sangat ramai. Sayangnya, tak satu pun yang kupahami. Baik bahasa maupun tulisan di papan tulis, seluruhnya dalam bahasa mandarin. Waktu berjalan terasa sangat sangat lambat..............

Thursday, September 14, 2006

Sholat Jumat Pertama


Gedung bernomor 12 itu sama sekali tidak besar. Lebih mirip ruko empat lantai, dengan luas setiap lantai sekitar 40 meter persegi. Di atas pintunya terdapat tulisan dalam tiga bahasa, Arab, Cina, dan Inggris: Tainan Mosque. Perlahan-lahan kami menapaki tangga, menuju lantai dua. Di sebuah ruangan, telah duduk sebuah keluarga dengan bapak Pakistan, ibu Taiwan, dan dua anak lelaki mereka. Kami bercengkerama sejenak sambil minum air putih, sebelum kemudian baranjak kelantai tiga, tempat sholat jumat akan dilangsungkan.

Waktu menunjukkan pukul 13.00. Khotib, seorang Myanmar, naik mimbar. Adzan pun dikumandangkan. Jemaah terus berdatangan, hingga berjumlah duapuluh orang dewasa dan dua orang anak-anak. Sembilan di antaranya mahasiswa Indonesia. Khotib membacakan khotbahnya dalam bahasa Arab, kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan terjemahannya dalam bahasa Mandarin. Tidak ada kotak amal diedarkan. Dua puluh menit berlalu. Khotbah usai dan sholat pun didirikan.

Seusai sholat, kami kembali bercengkerama di lantai dua sambil minum air putih yang tersedia. Keluarga Pakistan-Taiwan itu mengundang kami, para mahasiswa Indonesia, untuk makan siang minggu berikutnya, sebagai syukuran rumah barunya. Dan sibuklah keluarga itu berdiskusi dengan para mahasiswi tentang rencana masakan serta sayuran dan bumbu yang diperlukan. Seorang teman bertanya kepada saya, "Saya perhatikan, Pak Ali amat serius memperhatikan khotbah tadi? Apakah faham bahasanya?" Saya menjawab, "Di Bogor, saya sering menghadiri sholat Jumat, yang disampaikan dalam bahasa Sunda. Jadi kalau tidak faham isi khotbah, itu mah biasaaaaaaaa."

Satu Minggu Pertama

Alhamdulillah, satu minggu pertama di negeri orang berjalan lancar. Ada banyak kawan yang berbaik hati membantu mengerjakan ini itu dan mengantar kesana kemari. Terima kasih Mas Feri, Mas Samsul, Mas Mungki, Mas Ely, Mbak Hensi, Mbak Hesti, dan Mbak Anna (Semoga Allah membalas kebaikan mereka). Saat ini sedang summer, dengan suhu udara yang tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kota di Indonesia. Apalagi hujan sering datang, sehingga panas menjadi tidak begitu terasa.

Dua masalah utama yang saya hadapi adalah bahasa dan makanan. Selama berada di lingkungan kampus, bahasa tidak (setidaknya, belum) menjadi masalah. Dalam setiap bagian, biasanya ada satu petugas atau staf mahasiswa yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi, begitu keluar kampus, bahasa tarzan pun acap menjadi penolong. Atau, paling tidak, kita bisa mencontoh pengalaman seorang teman saya dari Yogyakarta. Berbekal contekan dari kamus elektronik, datanglah ia ke sebuah toko untuk memprotes barang yang dibelinya sehari sebelumnya, yang dipikirnya tak sesuai spesifikasi. Dengan terbata-bata dan pronunciation yang entah benar atau tidak, dibacakanlah contekan itu, yang kemudian mengundang gelak tawa orang-orang yang mendengarnya. Untunglah, seorang lelaki kemudian keluar dan berbicara dalam bahasa Inggris, dan selamatlah teman saya itu.

Masalah makanan lebih parah lagi. Orang-orang di sini terbiasa makan babi seperti orang Indonesia terbiasa makan ayam. Cilakanya, amat mungkin, meski kita pesan ikan, tetapi digoreng dengan wajan bekas goreng babi. Atau, bila kita pesan ayam, mungkin sekali ayamnya tidak disembelih dengan mengucap asma Allah. Wah serba susah deh! (kecuali kalau Anda sepakat dengan mazhab seorang teman saya, "Ah, babi di Taiwan sudah muslim kok.") Jadinya, yang paling nyaman dan aman, makan sayuran. Sayangnya, mungkin karena lahan pertanian yang terbatas, sayuran (dan buah-buahan) amatlah mahal di sini. Saya sering membayangkan, alangkah enaknya bila ada semacam halal food hall di sini. Dengan semakin meningkatnya komunitas muslim, saya pikir itu akan bisa menjadi peluang bisnis yang menarik.