Wednesday, October 25, 2006

Lebaran Tanpa Ketupat


Tepat pukul 09.00. Kukayuh sepeda meninggalkan halaman dorm. Kususuri jalanan Tainan yang mulai menggeliat. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan bila harus dilalui sendirian. Dua puluh tujuh menit kemudian, aku baru tiba di Masjid Tainan. Ya, hari itu, Selasa, aku akan mengikuti Shalat Idul Fitri. Samsul, Hensi, dan Hesti memilih shalat di Kaohsiung, sementara teman mahasiswa lain harus mengikuti kegiatan perkuliahan di Kampus (sungguh malang nasib di negeri orang, harus kuliah saat lebaran).

Sekitar lima belas menit aku bercengkerama dengan Mungki, istrinya, dan para TKI di lantai 2, sebelum kemudian naik ke lantai tiga untuk takbiran. Waktu menunjukkan pukul 10.00, namun belum ada tanda-tanda shalat akan dimulai. Ketika waktu menunjukkan pukul 10.30, suara sudah terasa serak, karena telah bertakbir selama sekitar 45 menit, namun belum ada tanda-tanda shalat Id akan segera dimulai. Jamaah telah berkumpul sekitar 40 orang, sebagian besar adalah para TKI dari wilayah sekitar Tainan (sebagian dari mereka baru selesai bekerja pukul 08.00, sebagian lagi harus kembali kerja pukul 13.00).

Pukul 10.40, shalat didirikan. Tidak seperti kebiasaan di Indonesia, di Taiwan, setelah takbiratul Ihram diikuti dengan 3 kali takbir. Sementara, pada rakaat kedua, setelah imam membaca Al-Fatihah dan surah, kemudian takbir lagi 3 kali, baru ruku'. Selesai shalat, imam naik mimbar dan membaca khotbah yang berlangsung selama 20 menit dalam bahasa Arab dan Mandarin. Seusai shalat, kami bersalam-salaman, kemudian menikmati santap lebaran ala Taiwan di lantai 2. Tentu saja, tak ada ketupat di sana.

Sehari sebelumnya, sesungguhnya kami telah tidak berpuasa. Namun, mengingat jauhnya perjalanan, sementara tetap ada kelas yang harus diikuti, kami tidak pergi ke Taipei atau Taichung yang menyelenggarakan shalat Idul Fitri di hari itu. Di dorm, kami merayakan lebaran dengan saling bermaafan dan menyantap beragam masakan dan kue yang disiapkan oleh Mr Feri, Samsul,Hensi, Hesti, dan tentu saja sang komandan, Netti Tinaprilla. Selain para mahasiswa asal Indonesia, turut bergabung Mohammed Tahiri dari Maroko, dan Edu Bringas dari Peru. Suasana yang penuh suka cita, sedikit mengobati kerinduan pada keluarga di tanah air.

Wednesday, October 18, 2006

Seandainya Cuma Ada Ramadhan

Oleh: Dumilah Ayuningtyas

Namaku Hamdhan,
Sebelas umurku
Cari aku di kolong jembatan layang di malam hari
Aku suka Ramadhan
Bulan puasa itu
Bebaskan aku dari puasa tak menentu
Terpaksa tak makan karena memang tak ada yang bisa disantap
Tinggal datang ke masjid mushola
Ada makanan enak menanti
Ta'jil katanya, pembuka puasa

Aku Tono
Aku suka Ramadhan
Karena majikannku berpuasa dari mengomel
memukuliku
Jika aku salah atau lambat kerja
Padahal aku kan sering capek dan juga ingin bermain di sembilan tahunku

Ramadhan ?
Aku suka itu
Pundi-pundi berisi penuh
Tak Cuma koin receh
Tapi juga uang kertas
Yang mereka lemparkan dari balik kaca mobil mewah
Saat ku sodorkan di lampu merah
Bulan puasa itu membuat tiba-tiba banyak orang baik & bersedekah ya..?
Jadi ibuku bilang : ” Amir, ada sisa untuk ditabung, mudah-mudahan kamu bisa sekolah lagi .. ”

Suka, aku suka sekali
Ramadhan itu kan
Bulan yang orang-orang jadi selalu makan enak untuk berbuka & sahur
Supaya tak terasa lemas & lapar
mereka bilang
Jadi harus ada kolak, es campur, kue-kue, makanan daging
Aku Anwar, si pengangkut keranjang belanja di pasar-pasar
Senang, berbilang kali mondarmandir
mengangkut tumpukan belanja ibu-ibu
"Sstt, jangan bilang guru ngaji bahwa aku jadi sering batal
tak kuat puasa karenanya..”
Bapakku ndak marah kok, aku kan masih kecil, belum baligh
Asal ada uang yang bisa dibawa pulang
Kasihan Bapakku lumpuh
Tak bisa cari uang sesudah kecelakaan di pabrik dulu

Kalau ingin ganti baju
Supaya tak tambal-tambal
Atau penuh lubang
Ya harus tunggu bulan setahun sekali
Bulan apa ya..
Pokoknya yang ada lebarannya itu..
Orang-orang kaya ganti baju
mungkin terlalu sesak almarinya
Jadi aku dapat sisa
Tapi masih bagus bagus kok
Aku jadi bisa pakai berlapis
Tak terlalu dingin lagi di gubuk kecil terbuat dari kardus-kardus
Benar emak menasehati : ..” Sabar nduk, gusti Allah ora sare..”
Menenangkan rengekanku minta baju
Karena malu diejek
Ujang si gembel bajunya tembel

Kalau ingin sekali-sekali merasakan
Gantian
Orang berpunya mengejar si papa
Mereka yang berada
mengejar pengemis gelandangan ( kadang menyingkat memanggil kami Gepeng...)
Mencari agar ada penerima zakat
Besok lebaran menjelang
Akan batal zakat fitrah sesudah sholat
Ikut saja bersamaku di malam takbiran
Tenang-tenang tiduran di emperan pinggiran jalan
Tergopoh-gopoh mereka datang
Membangunkan kami untuk terima zakat
Lucu, kali ini si empunya butuh orang miskin ..
Ada benarnya juga namaku si Untung...
kecil-kecil sudah beruntung...

Aku tahu bapakku miskin sekali
Sebagai kuli
Penghasilannya Cuma dari angkut barang
Tapi ia tak bolehkan, aku Mamat anaknya, mengemis
Jadi menemani bapak
Mengambilkan minum & sesekali pijati punggungnya
Karena di Ramadhan ia banyak sekali angkut
mebel juga kulkas, tivi baru
Nanti kalau ada ceramah di kampung aku mau tanya pak kyai
Apa bulan puasa artinya ganti perabotan ya..?

Ustadz Husni pernah bilang
Tuhan itu bisa berbuat apa saja
Maha Kuasa
Tuhan juga Pemurah
mau mendengarkan doa dari siapa saja
Termasuk anak jalanan miskin terlantar
Ya Allah,
Hamdan, Amir, Tono, Anwar, Untung, Ujang, Mamat
Doa bersama
Mengemis padaMu
Jadikan Cuma ada Ramadhan
Sepanjang tahun..
..amin..

Depok 9 September 2006

Tuesday, October 10, 2006

Berita Duka Menjelang Sahur

Waktu baru menunjukkan pukul 2.35 pagi, ketika pintu kamarku diketok. Padahal, aku baru terlelap tidak lebih dari 15 menit. "Anaknya Mas Ely meninggal dunia," ujar Mas Samsul di depan pintu, membuat mataku yang masih mengantuk langsung terbelalak.

Subuh itu, hampir semua mahasiswa asal Indonesia berkumpul di kamar 209, markas Mas Feri dan Mas Samsul. Sebagian menenangkan Mas Ely yang tampak sangat berduka, sebagian mencari kepastian berita dari Surabaya, sebagian yang lain mencari info jadwal keberangkatan pesawat ke Indonesia.

Seusai sholat shubuh, kami berjalan bersama ke pintu gerbang dorm, menuju mobil Jonas, mahasiswa IMBA asal Taiwan, yang berbaik hati mau mengantar ke Bandara Kaohsiung. Perjalanan ke Kaohsiung lebih diisi dengan percakapan mengenai kemungkinan penyakit yang diderita anak Mas Ely, yang baru berusia 1,5 tahun. Masalah muncul setiba di Bandara Kaohsiung. Tiket return yang dimiliki Mas Ely, ternyata tidak dapat langsung digunakan hari itu. Sedangkan harga tiket baru mencapai NT$ 25,000 untuk one way, sementara dalam kondisi normal, tiket bolak-balik bisa diperoleh di travel agent dengan harga hanya NT$ 10,800.

Kami berlima, Jonas, Mas Ely, Mas Feri, Mas Samsul, dan aku pun kemudian kembali ke Tainan. Namun, semua biro perjalanan ternyata masih tutup karena liburan mid-autum festival. Untungnya, seorang kenalan Jonas yang memiliki sebuah biro perjalanan mau datang ke kantornya untuk membereskan permasalahan tiket. Ternyata seluruh seat telah habis untuk semua perjalanan ke Indonesia di hari tersebut. Akhirnya, Mas Ely pun hanya bisa pasrah untuk berangkat esok sore harinya. Innalillahi wa inna Ilaihi rojiun.

Friday, October 06, 2006

Mid-Autumn Festival

Sahur pagi ini suasananya berbeda. Biasanya sahur dilalui dengan canda enam peserta tetap, Netti, Feri, Ely, Budi, Samsul, dan aku, di tengah keheningan, karena mahasiswa lain tengah terlelap tidur. Kali ini dipenuhi suara riuh rendah para mahasiswa di pelataran dorm. Taiwan hari ini memang sedang merayakan libur nasional Mid-Autumn Festival, yang merupakan hari libur penting selain tahun baru Cina.

Mid-Autumn Festival biasanya jatuh pada hari kelima belas pada bulan kedelapan penanggalan Cina. Pada saat tersebut para petani merayakan berakhirnya masa panen musim panas. Secara tradisional, anggota keluarga Cina serta teman-temannya berkumpul, mengagumi bulan-purnama yang bersinar terang, sambil menikmati mooncakes dan buah pomelo bersama-sama. Mereka menyediakan barbecue di luar rumah, menyalakan kembang api dan petasan. Siang harinya, beragam kelompok menyelenggarakan arak-arakan yang memacetkan jalan, dengan tabuhan beragam alat musik tradisional.

Bagi mahasiswa internasional, Mid-Autum Festival tidak banyak bermakna, kecuali bahwa kami mendapatkan libur hingga lima hari. Sebagian memanfaatkannya dengan pergi keluar kota, sebagian yang lain meramaikan langit tainan dengan kembang api dan petasan di pelataran dorm. Sementara sisanya tetap harus memanfaatkan masa liburan dengan menyelesaikan tugas kuliah yang bertumpuk. Yang agak sedikit menggembirakan, Universitas membagikan gratis satu kotak mooncakes kepada setiap mahasiswa internasional. Lumayan..................................

Wednesday, October 04, 2006

Chinese Name

Punya nama yang diberikan oleh orang tua kita, ternyata tidaklah cukup untuk hidup di negeri Cina. Amat sering, meski kita telah menuliskan atau menyebutkan nama kita, masih juga ditanyakan nama Cina kita. Chinese name. Nama kita, yang dilafalkan dalam aksara mandarin. Atau nama asli cina mereka, sebelum berganti dengan nama, yang di Taiwan sering diistilahkan dengan "English name". Bahkan sebelum datang pun, dalam formulir permohonan visa, dalam debarkation card, chinese name ini telah ditanyakan.

Ketika beberapa hari tiba di Taiwan, beberapa kawan yang telah tinggal lama di Tainan menyarankan untuk membuat stempel nama, di sebuah toko dekat dorm. Dengan biaya NT$ 50, didapatlah sebuah stempel kecil nama kita dalam aksara mandarin, yakni 艾莉. Bagiku, ini sebuah stempel ajaib. Pembuatan ARC, pembukaan rekening tabungan di kantor pos, hingga urusan akademik, semua menjadi lebih mudah dengan stempel ajaib tersebut. Semacam persetujuan dengan derajat tinggi.

Tibalah kemudian saat harus membayar ini itu. Formulir distempel nama, dan beres. Kemudian, kartu mahasiswa pun langsung didapat. Dengan kartu mahasiswa ini, seluruh pelayanan Universitas menjadi terbuka. Seluruh informasi pribadi pada kartu mahasiswa ditulis dalam aksara mandarin. Termasuk nama. Menariknya, ternyata namaku ditulis dengan aksara 阿里yang berbeda dengan stempel nama. Ternyata, aksara yang digunakan, akan sangat tergantung intonasi kita saat mengucapkannya. Ketika kutunjukkan perbedaan itu pada Professor Shiu Yung-Ming, dia menyarankan untuk menggunakan nama yang di kartu mahasiswa, karena nama di stempel lebih mirip nama perempuan. Stacy Lin, staf pada Office for International Affairs, malah tertawa terbahak. Nama yang ditulis pada stempel, katanya, "Sounds like a ghost name." Waaaaaaaaaaaaaaaa???

Tuesday, October 03, 2006

Birokrasi Yang Melayani

"Dear brothers and sisters. Please come and join us to break your fast at 5:45 pm on 2nd floor of our dorm. Badri & Dita." Begitu bunyi sms yang kuterima siang itu. Sebuah undangan berbuka puasa untuk mensyukuri kembalinya skuter yang telah sekitar seminggu dicuri orang. Berita penemuan kembali itu disampaikan oleh polisi. Mr Badri, mahasiswa PhD NCKU, langsung dapat mengambil kembali skuternya hanya dengan membayar NT$ 550 sebagai biaya angkut.

Berurusan dengan birokrasi di Taiwan adalah pengalaman tentang efisiensi. Seorang teman yang di pagi hari membeli skuter bekas, membayar biaya balik nama NT$ 1000, di sore hari telah menerima STNK/BPKB yang telah berganti namanya. Ketika mengurus Alien Resident Certificate (ARC), kita hanya perlu datang ke kantor polisi terdekat, mengisi formulir, membayar NT$ 1000, dan kartu pun akan kita terima tiga hari kemudian. Pengalaman ini amat berbeda dengan di Indonesia.

Salah satu persyaratan registrasi adalah ijazah yang dilegalisasi oleh Perwakilan Taiwan di negeri kita. Untuk itu, pertama, kita harus datang ke kantor notaris, yang akan menyatakan kesesuaian fotokopi ijazah dengan aslinya. Uang. Kemudian harus datang ke Departemen Hukum dan HAM, untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan notaris. Uang lagi. Setelah itu harus datang ke Departemen Luar Negeri, untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan pejabat Departemen Hukum dan HAM. Uang lagi. Setelah itu baru datang ke Taipei Economic and Trade Office (TETO) untuk mendapatkan legalisasi kebenaran tanda tangan pejabat Departemen Luar Negeri. Bayangkan, begitu banyak kantor harus didatangi untuk hanya saling mengesahkan kebenaran tandatangan, yang membutuhkan waktu proses lebih dari dua minggu. Untung saya tinggal dekat Jakarta. Bagaimana dengan mereka yang bertempat tinggal di Maluku atau Papua, misalnya. Yang luar biasa, keabsahan tanda tangan pejabat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, harus disahkan oleh pejabat Kantor Perwakilan negara lain!