Saturday, December 30, 2006

Idul Adha tanpa Sholat Id

Begitu sibuknya menyiapkan presentasi, aku sampai lupa kalau hari ini Idul Adha. Idul Fitri tempo hari, masih sempat sholat Id karena meski harus presentasi, namun di siang hari. Hari ini, terpaksa tidak bisa ikut sholat Idul Adha, karena harus presentasi pagi hari. Itulah Taiwan. Tidak ada hari libur saat perayaan keagamaan. Idul Fitri, Natal, Idul Adha, Waisya, Paskah, dan sejenisnya, tetap merupakan hari kerja. Lucunya, banyak hari libur yang "aneh-aneh". Ada "International Week holiday" selama tiga hari, Mid-Autumn Festival (1 hari), National Day (1 hari), Founding Day of ROC (1 hari), Lunar New Year (9 hari), Memorial day (1 hari), Inter-University Week (3 hari), Tomb-Sweeping Day (1 hari), Sport Day (1 hari), dan Dragon Boat Festival (1 hari).

Pagi ini aku harus presentasi untuk mata kuliah Corporate Governance. Mata kuliah ini sebenarnya menarik, hanya sayang diselenggarakan dalam bahasa Mandarin. Jadilah, setiap Sabtu pagi, selama tiga jam, aku harus nongkrong di kelas tanpa paham apa pun yang diterangkan oleh sang profesor atau yang didiskusikan di kelas (kata kawan-kawan, itu namanya listening without understanding). Lebih menyedihkan lagi, karena sang profesor ini tampaknya baik dan lucu. Berulangkali kelas dipenuhi gelak tawa, yang tentu saja tak bisa kunikmati kelucuannya. Bukan itu saja, sudah tiga kali kelas dibatalkan hanya dengan pengumuman lisan. Untungnya, ada teman yang berbaik hati selalu menerjemahkan pengumuman penting kepadaku. Kalau tidak, bisa kecele deh......

Selama dua bulan terakhir perkuliahan, pada setiap kali pertemuan, dua mahasiswa PhD harus presentasi topik tertentu dari textbook The Theory of Corporate Finance, karya Jean Tirole. Ini buku yang selain amat tebal juga amat susah dimengerti. Model matematikanya jauh lebih banyak daripada narasinya. Jangankan membaca hanya sekali, berulang kali pun belum tentu akan faham maksudnya.

Seperti juga sang Profesor, tentu saja seluruh mahasiswa selalu presentasi dalam bahasa Mandarin. Makanya, ketika giliranku tiba, karena mereka tahu betul kemampuan bahasa Mandarinku nol besar, semua takzim mendengarkan, dengan keyakinan aku akan presentasi dalam bahasa Inggris. Kala mendengar bahwa kalimat pertama yang kuucapkan adalah "Laoshi....", seluruh kelas dipenuhi gelak tawa (padahal aku belum menyelesaikan kalimat pembuka, yang memang sudah kuhafalkan dalam bahasa Mandarin). Tampak sekali mereka tertawa geli dengan bahasa Mandarinku yang medok sekali dengan aksen Jawa... ha..ha..ha...

Wednesday, December 27, 2006

Earthquake

"Is it an earthquake?", aku bertanya. Dengan santai, sambil tetap mengetik, ia menjawab "Yes." Demikianlah percakapanku dengan teman sebelahku sekitar satu jam yang lalu, ketika gedung tempat kami berada terasa diguncang gempa hebat hingga terasa bergoyang (dari berita kemudian diketahui gempa ini berkekuatan 5,9 skala richter). Orang Taiwan tampak santai, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan gempa (Taiwan terletak di dekat persimpangan dua lempeng tektonik) ditambah keyakinan mereka terhadap kualitas bangunan. Konon, bangunan-bangunan di Taiwan didesain untuk tahan gempa berkekuatan hingga 7 skala richter.

Namun, suasana sedikit berbeda terlihat semalam, sekitar pukul 20.26. Saat gempa pertama terjadi, sama sekali tidak terlihat kepanikan. Orang-orang tetap santai melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Bahkan kuliah tetap berlangsung. Namun, sekitar delapan menit kemudian, guncangan keras terasa diiringi padamnya aliran listrik (entah mana yang benar, menurut berita gempa saat itu berkekuatan 6,7 skala richter, sementara media masa di Indonesia menyebutkan 7,1 skala richter). Kontan orang-orang berlarian menuju ruangan terbuka. Tidak seperti biasanya, malam itu banyak orang memutuskan pulang lebih awal (kampus biasanya mulai sepi pukul 22.00, bahkan banyak yang beraktivitas hingga tengah malam), meski gedung-gedung telah terang kembali.

Sesampai di dorm, orang-orang masih berkumpul di lapangan, berjaga-jaga bila terjadi gempa susulan, sementara beberapa Taiwanese dengan berani memutuskan kembali ke kamarnya. Tampaknya, mereka memang telah terbiasa dengan gempa. Bagi banyak foreigner, gempa tadi malam adalah pengalaman pertama mereka. Seorang teman dari kawasan Afrika Utara, bahkan menuntun sepedanya untuk jarak yang cukup jauh karena tidak memiliki daya lagi untuk mengayuh. "I want to leave Taiwan," ujarnya serius.

Monday, December 25, 2006

Christmas Day

Pagi tadi anakku menelepon. Hari ini ia genap berusia enam tahun. Ibunya, tantenya, dan neneknya patungan membelikannya sepeda. Aku masih ingat, enam tahun lampau, aku menunggu dengan cemas istriku yang harus menjalani operasi cesar, setelah tetap dalam kondisi pembukaan dua sesudah berjam-jam ketubannya pecah. Dua hari sebelum melahirkan, istriku masih kontrol ke dokter kandungan, dan diberi tahu lagi bahwa perkiraan kelahiran masih dua minggu lagi. Jadi kami sama sekali tidak menyangka ketika harus melahirkan secepat itu.

Saat itu juga dua hari menjelang Idul Fitri, sehingga ada yang mengusulkan namanya Fitri atau something like that (kupikir, agak kurang kreatif, karena sudah banyak orang dengan nama itu). Oleh karena itu, dengan beragam pertimbangan mendalam (lho, kan nama akan dipakai seumur hidup....) akhirnya kuberi ia nama Hanan Hanifah. Dalam bahasa Arab, Hanan berarti mercy, benevolence, atau compassion. Sedangkan Hanifah bermakna true believer.

Karena dilahirkan saat natal (ini natal yang pasti dikenang banyak orang, karena bom meledak di banyak tempat di Jakarta), anak pertamaku ini akan selalu merayakan ulang tahunnya pada hari libur. Setidaknya, kalau ia tidak tinggal di Taiwan. Benar! Natal, dan juga hari raya keagamaan lainnya, bukanlah hari libur (Baca juga: "Lebaran Tanpa Ketupat", saat aku bahkan harus presentasi tepat di hari lebaran lalu). Meski begitu, hari natal, terutama malam natal, amat meriah diperingati di Taiwan. Menariknya, sebagian besar di antara mereka yang merayakan natal justru tidak beragama kristen. Di Taiwan, natal adalah peristiwa budaya, dan bukan peristiwa keagamaan. Bagi mereka, yang terpenting adalah pesta, makan, minum, musik, dan bergoyang. Ayo, tarik, maaaaaangg...................!!!!

Wednesday, December 20, 2006

Ibu

Oleh Emha Ainun Najib

Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahi pun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya."Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya. "Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya.Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.

"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu. "Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam." Sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang," jawabnya pendek. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-Qur'an selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-Qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.

Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.

Adzan isya berkumandang, Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar."Duh Allah, sayangi Mamah," spontan saya memohon.

"Neng..." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya."Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang.

Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apa pun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.

Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!
kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!
kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!
kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan... .Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?.. Pernahkah. .?

Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke Jakarta, biar dekat dengan anak-anak"."Ah, Allah lebih perkasa dibanding kalian. Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang." Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah.

Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat, saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

IBUMU
adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

Friday, December 08, 2006

I Have No Religion

"I have no religion". Kalimat itulah yang akan sering kita dengar manakala kita menanyakan agama yang dipeluk oleh generasi muda Taiwan. Sebagai orang yang dibesarkan di negeri "agamis" seperti Indonesia, kita tentu kaget mendengar jawaban seperti itu. Menurut sumber resmi, penduduk Taiwan memeluk agama Budha, Tao, Kong Hu Cu, serta Kristen. Akan tetapi, meski mereka mengaku sesekali melakukan bai bai di temple namun itu dilakukan lebih karena tradisi. Kebanyakan temple di Taiwan juga bukan kuil khusus agama tertentu. Di dalamnya tidak hanya ditemui patung dewa-dewi, namun juga patung Budha.

Agama Islam, bagi kebanyakan penduduk Taiwan, masih dianggap asing. Berulang kali, dalam berbagai kesempatan, kawan-kawan yang mengenakan jilbab menjadi perhatian. Mereka menanyakan apa yang dikenakan, mengapa mengenakan seperti itu, dan sejenisnya. Pertanyaan lain yang acap muncul adalah tentang sholat, mengapa harus menghadap kiblat, bacaan, serta gerakan. Kewajiban sholat lima kali dalam sehari tampak merupakan hal yang luar biasa bagi mereka. Masalah lain adalah jihad, yang sering dipersepsikan boleh membunuh siapa saja yang tidak seagama. Propaganda Amerika Serikat tentang citra Islam sebagai teroris, tampaknya banyak mempengaruhi persepsi mereka. Dan, tentu saja, yang paling menarik adalah poligami. Informasi yang dipahami secara salah selama ini adalah setiap pria dapat menikahi wanita sebanyak mereka suka. Biasanya, aku memberi penjelasan bahwa poligami lebih merupakan sebuah emergency exit, misalnya bagi mereka yang telah menikah lama namun belum dikaruniai keturunan, dan bukan semacam pintu yang selalu terbuka.

Mencari tempat sholat yang layak tentu saja juga tidak mudah. Ada beberapa kawan yang bahkan sering harus pulang ke dormitory hanya untuk sholat, kemudian kembali lagi ke kampus. Untunglah di College of Management ada gudang kecil di research room yang bisa disulap menjadi musholla, meski harus rela sholat bersama sapu, pel, dan kawan-kawannya. Masalah muncul bila kita bepergian. Dalam kesempatan wisata ke Jiji, Nantou bersama Chinese Language Center belum lama berselang, sebagian melaksanakan sholat di tempat parkir, sementara ada pula yang harus melakukannya di antara bis yang sedang parkir. Tentu saja, menjadi tontonan banyak orang.....

Friday, December 01, 2006

Tiga Wanita Haus Kasih Sayang

Oleh Sari S. Karim

Say, jenuh banget gak ada kamu di rumah. Akan terhibur kalau melihat polah tingkah anak-anak yang luar biasa lucu dan menggemaskan. HH yang kalau bicara nyerocos tidak ada titik dan koma... MM yang kalau kesal atau marah bahasa planetnya keluar. Tapi ya tetap saja tidak lengkap rasanya kalau tidak ada kamu. Yang suka tiba-tiba bernyanyi gak karuan, nada dan suaranya..... "Aku pulang... dari rantau.. bertahun-tahun di negeri orang... oh Malaysia...".

Say, hatiku sepi... tak terasa sudah mau 3 bulan... rasanya lamaaaaa sekali. Tak salah jika HH suka uring-uringan jika sedang merindukanmu. HH khawatir sekali sama kamu, yang apa-apa harus dikerjakan sendiri. HH bilang kan kasihan Bapak, kalau tidur juga mau dipeluk sama Kakak...

Pernah suatu ketika aku melintas kebun karet Jabaru, ingatkan.... seminggu sebelum kamu pergi... kita berempat main-main di sana. Olah raga, senam (MM senam angkat kaki...), lomba lari sampai HH pipis dipinggir got karena tidak kuat tahan pipis... Tiba-tiba saja air mataku menetes... betapa aku merindukan saat-saat seperti itu... Tamasya murah meriah ala kita, tidak perlu keluar uang yang penting happy!.

Paling pedih jika HH bicara mengapa dia tidak diajak Bapak ke Taiwan? Mengapa bapaknya tidak segera pulang... melihat betapa giatnya dia menabung untuk membeli tiket pesawat untuk bapaknya... Dasar anak-anak, dia pun merasakan rindu yang tak tertahankan...

Melihat keceriaan MM main sama Alvin dan para lelaki yang ada di Cikaret... begitu manja... kesana kemari diikuti, bergelayutan di pundak. Jika tidak ada, dia selalu mencari... ke rumah uyut atau nini Eli. Saat hujan pun dia minta Nur untuk menyusul sambil meminta dibawakan payung! Terlihat dia mencari figur bapak... yang untuk sementara dia peroleh dari para lelaki tersebut... Aku sendiri pun sering membayangkan seandainya MM yang bergelayutan manja di pundakmu... tertawa lebar.

Saat mau tidur pun yang diserbu selalu aku... yang minta dikipas-kipas, digaruk-garuk badannya, yang minta dibacakan buku cerita... seandainya ada kamu, tugas itu bisa kita bagi berdua... tidak selalu rebutan.

Untuk saat ini semua itu hanya bisa bilang seandainya...

We miss u so much!