Sunday, December 30, 2007

Usap-Usap Sepatu

Oleh Suryaneta Masrul*

Menjaga wudhu termasuk hal sulit untuk dapat saya lakukan. Khawatir wudhu batal dan merasa lebih nyaman berwudhu setiap salat membuat saya kewalahan ketika berada di Taiwan, di mana Islam masih merupakan kata yang terdengar aneh di telinga. Tidak tersedianya tempat khusus untuk berwudhu memberikan saya kesempatan melaksanakan beberapa tuntunan fikih yang sebelumnya belum pernah saya kerjakan.

Salah satu contohnya adalah ketika mengikuti kelas bahasa Mandarin di Chinese Language Center (CLC) NCKU, yang disediakan gratis untuk mahasiswa internasional sekali seminggu selama 3 jam dari pukul 15.10-18.00 dengan istirahat 10 menit setiap jamnya. Salat ashar dan magrib terpaksa harus dikerjakan di CLC karena bila mengerjakan salat magrib di gedung Teknik Kimia tidak akan terkejar, selain waktu magrib yang singkat juga karena pukul 18.10 ada kuliah lagi di Teknik Kimia.

Berusaha untuk selalu menjaga wudhu dan tetap berwudhu ketika akan salat memberikan saya peluang untuk mengerjakan salah satu ruksah dalam fikih Islam, yaitu mengusap sepatu. Sebenarnya, mengambil wudhu di wastafel rest room biasa saya dan teman-teman muslimah lakukan di gedung Teknik Kimia. Basemen 1 yang jarang dilewati orang lalu lalang memudahkan kami untuk menutup pintu rest room dan melakukan aksi angkat kaki ke wastafel (Alhamdulillah, selama ini kami aman-aman saja melakukannya, karena seorang mahasiswi IMBA asal Indonesia pernah bercerita, bagaimana ia suatu ketika membasuh kaki di wastafel kala berwudhu, dan esok harinya terpampang sebuah pengumuman: "Dilarang Mencuci Kaki di Wastafel").

Sedangkan keadaan di CLC dengan waktu istirahat cuma 10 menit dan mobilitas orang di rest room yang cukup tinggi tidak memungkinkan saya untuk menutup pintu rest room ketika mengambil wudhu. Akhirnya setelah memikirkan cara terbaik, saya mengambil ruksah untuk mengusap sepatu ketika berwudhu. Alhasil dengan bersepatu dan menggunakan jaket sebagai alas salat saya pun menunaikan salat di ruang kelas yang kosong.

Ini menjadi salah satu bukti kalau Islam itu bukanlah agama yang mempersulit kita. Sabda Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih- lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.”

[~HR. Al-Bukhari (no. 39), Kitabul Iman bab Addiinu Yusrun, dan an-Nasa’i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu~]*

*Suryaneta Masrul is a master student at Department of Chemical Engineering, NCKU, Taiwan. Some parts of this article have been edited by Ali Mutasowifin.

Monday, December 17, 2007

Surat 4 halaman

Biasanya, setiap kali aku menelepon Indonesia, anakku yang pertama, Hanan, akan perlu 10 menit sendiri untuk bercerita, dari kegiatan di sekolahnya, adik-adiknya, teman-temannya dan sebagainya. Betul-betul tanpa koma, apalagi titik. Sabtu lalu, dia bercerita kalau dia menulis empat halaman surat untukku. Memang, ia telah lancar menulis dan membaca. Setiap dua minggu sekali aku menulis kartu pos ke anak-anakku satu persatu. Tentu saja, dia lah tukang bacanya. Dan inilah surat yang dia buat untukku.

Wednesday, December 05, 2007

Wo de jiao da che hen gui

Kembali dari menikmati libur musim panas di Indonesia, aku mendapati sepedaku sudah tidak karuan kondisinya. Mungkin karena selama lebih dari dua bulan menahan derita diterpa panas matahari, diguyur hujan, dan diterjang angin topan. Ya, sudahlah... dengan gontai kubawa sepedaku ke reparasi sepeda di lingkungan dorm. Ini itu harus diganti, kata pemilik bengkel, dan NT $ 340 pun melayang. (Kucatat, si pemilik bengkel itu memang sukanya menyarankan untuk mengganti dengan yang baru setiap ada komponen sepeda yang rusak. "Change" atau "mei guan xi", itu dua kata yang sering ditawarkan sebagai option kepadaku, setiap kali aku melaporkan bagian sepedaku yang terasa tak beres).

Beberapa minggu kemudian, giliran ban sepeda kempes. Tukang tambal ban satu-satunya itu pun menerima rezeki NT $ 40 untuk menambal ban dengan cara yang jauh lebih ringkas dengan kebiasaan di tanah air. Pagi ini, sepeda kesayangan itu kembali harus kubawa ke bengkel yang sama. Ternyata, tempat pentilnya rusak, sehingga ban dalam seluruhnya harus diganti. NT $ 150 pun berpindah tangan. Kalau ditotal, nilai buku sepeda itu (sebelum depresiasi) sudah mencapai NT $ 2,428 (lihat juga http://alimu.blogspot.com/2007/05/sepeda.html ). Wah, niat ingsunnya membeli sepeda murah, ternyata jadinya mahal sekali. Hen gui! Hen gui!

Saturday, December 01, 2007

Waktu (Terkadang Terasa) Cepat Berlalu

Pagi ini, pukul 08.00 waktu Taiwan, kutelepon rumah. Istriku sudah berangkat kerja (katanya ada projek, sehingga Sabtu pun harus masuk kantor). Anak pertamaku juga sudah berangkat sekolah. Anak kedua pun telah bersiap berangkat. Hanya sebentar ngomong dengannya, sebelum kemudian dia berucap, "Sudah ya, Pak... Nanti saya terlambat". Tinggallah si bungsu yang berusia 10 bulan di rumah.

Ya, terkadang waktu terasa cepat berjalan. Rasanya, belum lama aku menimang-nimang anak pertamaku, Hanan. Rasanya belum lama pula aku membujuknya agar mau kembali bersekolah di sebuah Kelompok Bermain di Rawamangun, Jakarta, setelah berhari-hari mogok sekolah karena sempat menyadari pengasuhnya tak menungguinya di sekolah. Sekarang usianya telah hampir tujuh tahun, dan telah duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Hampir setiap sore ia bermain sepeda kesana-kemari bersama kawan-kawannya, serta sangat ngemong adik-adiknya.

Rasanya, pun belum lama aku mengajari anak keduaku, Maysa, belajar berjalan. Ah, ...sekarang (konon) kalau dia berlari, pengasuhnya pun kesulitan menangkapnya. Dia paling semangat bersekolah. Setiap pagi, setelah memperoleh konfirmasi bahwa hari itu dia bersekolah (jadwal sekolah dia hanya Selasa, Kamis, dan Sabtu), dia langsung mandi dan mengenakan pakaian seragamnya. Kalau sudah begitu, biasanya akan sulit disuruh sarapan. "Nanti seragam saya kotor... Kan saya malu kalau kotor...", begitu ia sering beralasan.

Anak ketigaku, Ayham, adalah satu-satunya anakku yang kala lahir tak ditunggui Bapaknya. Ya, ia lahir ketika aku sedang berada di Taiwan ( http://alimu.blogspot.com/2007/02/anggota-keluarga-baru.html ). Ia adalah orang yang "berjasa" membuat semua orang bangun lebih pagi daripada biasanya. Setiap sekitar pukul 04.00 pagi, ia sudah bangun, membuat kegaduhan dengan merangkak kesana kemari, melewati mereka yang masih terlelap tidur. Jadilah, ibunya dan kedua kakaknya pun menjadi terbangun karenanya. Tak lama kemudian, biasanya ia telah merengek minta makan, "mammamm... mammamm...." Mungkin karena banyak beraktivitas, meski makannya banyak, namun tubuhnya tak juga gemuk.

Benar, ...bila mengingat perkembangan anak-anak, waktu kadang terasa cepat berlalu.