Tuesday, September 30, 2008

Beda Lebaran

Di Indonesia, ada  jemaah yang merayakan lebaran di hari Senin, ada yang di hari Selasa, dan ada pula yang berlebaran di hari Rabu. Meski ini adalah kenyataan yang tak diharapkan, namun bila mengingat bahwa Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia yang tersebar di begitu amat luas wilayah, ketidakseragaman tentang sesuatu menjadi lebih mudah untuk difahami.

Namun, bila ketidakseragaman itu terjadi di Taiwan, sesungguhnyalah amat layak untuk menjadi pertanyaan. Tahun ini, insya Allah adalah lebaran ketiga yang kujalani di Taiwan. Sepanjang ingatanku, pada ketiga tahun itu selalu terdapat perbedaan penetapan hari raya. 



Berlainan dengan di Indonesia yang pemerintah selalu menyelenggarakan sidang itsbat untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan bersama organisasi keagamaan setanah air, penetapan hari raya idul fitri maupun idul adha di Taiwan merupakan otoritas imam masjid masing-masing. Jadilah, meski luas wilayah Taiwan hanyalah 35,980 sq km (bandingkan dengan luas Indonesia yang 1,919,440 sq km) dan jumlah muslim (termasuk pendatang) hanya berbilang puluhan ribu orang saja, namun sholat idul fitri diselenggarakan berlainan hari di berbagai kota. Bahkan antara Taipei dan Chungli yang hanya sejenak perjalanan pun ternyata tak seragam dalam menetapkan hari raya. 

Selamat Idul Fitri, taqobbalallahu minna wa minkum...

Sunday, September 21, 2008

Teman Sekamarku Seorang Komunis

Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam saat aku tiba di depan pintu kamarku. Lampu kamar menyala, menandakan ada seseorang di dalam kamar. Seorang lelaki berperawakan tegap, berkulit terang, mata sipit dan rambut lurus menyapa dengan senyum mengembang. Tics, begitu ia menyebutkan namanya. Ia berasal dari Vietnam dan mengambil program master di Department of Mechanical Engineering. 

Kuatur laptopku agar dapat segera menyampaikan laporan ke rumah, meski tubuh terasa remuk. Sejak sebelum subuh telah meninggalkan rumah, dan baru tiba hampir 18 jam kemudian. Untunglah, bandara Hongkong yang konon sempat ditutup hari sebelumnya, cerah di hari itu. Namun, transit yang hampir empat jam serta gerbang keberangkatan yang berpindah-pindah tak urung membuat kaki menjadi letoi tak terperi. Begitu capeknya, sehingga sempat terlelap beberapa menit menjelang pesawat mendarat di tengah guyuran hujan lebat. Sebagai apresiasi kepada pilot, sebagian penumpang bertepuk tangan begitu roda pesawat mendarat dengan selamat di landasan Bandara Kaohsiung.

Sesungguhnya, kamar ini berpenghuni tiga orang. Seorang lagi, Abraham yang orang Kanada, memilih tinggal di luar dorm, dan hanya menitipkan barang-barang miliknya saja. Sesekali ia datang bila memerlukan barang-barang tersebut. Lagipula, rasanya tak mungkin ia yang bertinggi badan lebih 2 meter tidur di dorm yang panjang tempat tidurnya hanya sekitar 175 cm. Penghuni baru, Tics, tampaknya rajin. Kaca jendela yang sudah setahun tak pernah tersentuh lap, tiba-tiba kinclong. Sampai lewat tengah malam juga masih belajar, diseling ngobrol melalui instant messenger. Tetapi, kalau sedang ngobrol, ia terdengar lebih seperti bergumam, nyaris tak terdengar. Jadilah, aku tak merasa terganggu meski ia mengobrol menjelang aku terbuai mimpi.

Seperti halnya banyak kawan yang berasal dari Vietnam, teman baruku ini juga sorang komunis. Dia tidak percaya agama pula tak percaya Tuhan. Hanya percaya pada roh leluhur. Meski tak pernah bertanya, kurasa ia merasa aneh melihatku bolak-balik jengkang-jengking ...