Monday, October 13, 2008

Curiga Tidak Kaya

"Masa dengan gaji Rp 8 juta per bulan dan 40 tahun jadi hakim, cuma segini?" tanya seorang anggota Komisi III DPR RI setengah tak percaya kepada seorang ketua pangadilan tinggi dalam kesempatan fit and proper test calon hakim agung. 

Sang hakim menjawab secara normatif. "Apa yang saya sampaikan ke Komisi Yudisial adalah apa adanya, dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diterima KPK juga memang demikian adanya. Itu sudah dimuat dalam berita negara," tutur hakim kelahiran 1945 ini. 



Keraguan anggota DPR ini sesungguhnya mengherankan. Rumus matematika manapun, seharusnya memang tak memungkinkan seorang pegawai negeri dengan gaji Rp 8 juta sebulan untuk memiliki kekayaan yang jauh melebihi jumlah yang telah dilaporkan sang hakim. Si anggota DPR barangkali terlanjur terbiasa dengan kehidupannya atau para koleganya yang bergelimang dengan gaji bejibun dan tunjangan nan beragam. Atau dengan para pejabat mitra kerjanya, yang meski secara resmi bergaji tak tinggi, tetapi entah bagaimana caranya bisa memiliki kekayaan berlimpah. Padahal, kehidupan sebagian besar rakyat yang (katanya) diwakilinya, sesungguhnya bagaikan bumi dengan langit bila dibandingkan dengan kehidupan para mitra kerja DPR itu.

Sebenarnyalah sudah sejak lama para penggiat antikorupsi di tanah air mendesakkan pemberlakuan hukum pembuktian terbalik guna memberantas praktik korupsi. Namun, hingga kini, tuntutan itu tak pernah memperoleh sambutan positif dari para wakil rakyat. Alasannya mudah ditebak, mereka tak siap untuk menjelaskan, dari mana saja asal kekayaannya yang tiba-tiba menggunung. Beragam kasus yang saat ini membelit (bekas) anggota DPR (D) cukup memberi petunjuk, dari mana saja asal kekayaan mereka...

Friday, October 10, 2008

Krisis Keuangan Global

Beberapa minggu terakhir ini porsi pemberitaan media massa dipenuhi berita tentang krisis keuangan yang melanda dunia. Bursa saham di hampir seluruh penjuru dunia berjatuhan, menyusul krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat. Bailout senilai US $ 700 miliar di Amerika ternyata tak juga mampu meredam guncangan ekonomi dunia yang telah semakin menyatu. Tidak terkecuali Indonesia. Kepanikan (dan amat mungkin juga keserakahan) membuat Bursa Efek Indonesia terjerembab lebih dari10% dengan transaksi yang hanya Rp 900-an miliar. Kondisi ini membuat BEI terpaksa harus menutup bursa hingga tiga hari. Ancaman dan janji Pemerintah untuk menghukum anggota bursa yang melanggar peraturan, di antaranya tetap melakukan short selling padahal sudah jelas-jelas dilarang, harus sungguh-sungguh diterapkan. Ketegasan dan kesungguhan dalam penerapan hukum diharapkan dapat memberikan efek jera, sehingga harapan akan terwujudnya bursa saham yang lebih sehat nan kuat di masa depan akan semakin dimungkinkan.



Adanya beberapa kawan yang bertanya dampak guncangan industri keuangan dunia ini terhadap portofolionya, mengingatkanku kepada krisis keuangan yang melanda Indonesia sekitar sepuluh tahun lampau. Seorang senior yang bekerja di sebuah BUMN terkemuka kerap meminta nasihatku tentang pilihan investasi yang paling menguntungkan di tengah turbulensi yang melanda kawasan saat itu. Hasilnya, kala krisis telah mereda, dengan senyum mengembang ia bercerita bagaimana ia bisa menambah lagi satu rumah di sebuah kompleks perumahan mewah di Jakarta Barat/Tangerang. Dengan berkelakar aku acap menyebutnya sebagai keadilan dunia, orang yang punya uang tak punya ilmu (tentang bagaimana menginvestasikannya), orang yang punya ilmu tak punya uangnya... ha..ha..ha...

Ketika krisis ekonomi melanda dunia seperti sekarang pun, kehebohan sesungguhnya hanya milik mereka yang memiliki uang dan portofolio yang berkelindan dengan bursa saham dan ekonomi dunia. Orang-orang seperti diriku dengan portofolio biasa-biasa saja dan jumlah dana yang sama sekali tak istimewa, paling hanya bisa mengangkat tangan sembari pasrah. Apatah lagi saudara-saudara kita yang sehari-hari selalu harus berjuang amat keras hanya untuk dapat bertahan hidup. Bagi mereka, barangkali, krisis adalah makanan setiap hari...

Thursday, October 02, 2008

Beda (Takbir) Sholat

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, namun belum ada tanda-tanda imam Masjid Tainan bergabung dengan para jemaah. Sudah hampir satu jam kami mengumandangkan takbir, dan rasanya suara sudah hampir habis. Jemaah pun telah memadati ruangan sholat yang berukuran hanya sekitar 20 meter persegi. Menjelang pukul setengah sebelas, barulah imam yang berasal dari Myanmar ini masuk ke ruangan tempat sholat. Setelah duduk sejenak, ia berbincang dengan teman sebelahnya, yang tampaknya keturunan Pakistan.

Orang Pakistan ini kemudian berdiri, dan dengan bahasa Inggris menjelaskan kepada jemaah tata cara sholat yang akan diselenggarakan, yakni tiga takbir (tidak termasuk takbiratul ihram) sebelum Al-Fatihah di rakaat pertama, dan tiga takbir sebelum ruku di rakaat kedua. Seorang kawan berkebangsaan Yordania yang duduk di sebelahku tampak ngedumel begitu mendengar penjelasan tersebut, dan berulang-ulang menyalahkan tata cara sholat yang telah diumumkan. Namun, omelannya berhenti menyusul takbiratul ihram yang dilakukan imam, menandai diawalinya sholat idul fitri.



Meski ini adalah idul fitriku yang ketiga di Taiwan, ternyata tak mudah bagiku mengubah kebiasaan. Seusai imam membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya di rakaat kedua, begitu kudengar ucapan "Allahu Akbar" segera kubungkukkan badan melakukan ruku. Aha, salah !! Itu adalah perintah untuk tiga takbir pada rakaat kedua. Pada ucapan "Allahu Akbar" keempatlah jemaah baru mulai ruku. Kurasakan, tak hanya aku yang melakukan kekeliruan itu... :D

Usai sholat idul fitri, kami turun ke lantai dua. Setelah menunggu sekitar 10 menit, seorang jemaah datang dengan membawa puluhan nasi kotak. Hal ini merupakan "kemunduran" karena tahun sebelumnya makanan selalu disajikan dengan prasmanan. Mungkin pengurus masjid telah belajar, betapa penyajian makanan secara prasmanan telah menimbulkan "kekacauan" karena jemaah saling berebut dan karenanya makanan tak terdistribusikan secara merata... :D