Thursday, November 27, 2008

Indoglish and Javaglish

Saat pertama datang ke Taiwan, selama berminggu-minggu tak mudah bagiku menangkap omongan dosen di kelas. Mungkin karena terbiasa mendengarkan bahasa Inggris yang diucapkan orang Indonesia, saat itu sungguh tak mudah memahami bahasa Inggris yang diucapkan orang Taiwan. Minggu pertama malah gelap sama sekali. Minggu kedua sudah mulai ada titik terang. Minggu ketiga sudah mulai agak banyak titik terang. Minggu keempat mulai terasa terang di mana-mana...

Cara bicara orang, memang akan sangat mempengaruhi pemahaman. Saya jadi teringat kejadian beberapa tahun silam. Setelah melampaui beberapa kali saringan, termasuk dua kali ujian bahasa Inggris, akhirnya sampailah aku di tahap terakhir, yakni wawancara, untuk memperoleh British Chevening Award. Cilakanya, saat wawancara berlangsung, rasanya amat sering aku harus ngomong, "I beg your pardon?" Lha, bagaimana lagi...wong aku sungguh tak tahu, dua bule Inggris itu sedang ngomong apa jeee... 

Nah, di kampusku yang sekarang, dalam upaya menghindari matakuliah berbahasa Mandarin, semester ini aku banyak mengambil matakuliah yang ditawarkan departemen lain. Tanpa diduga, ternyata hal ini juga membuatku berkesempatan belajar ragam bahasa Inggris. 

Di sebuah kelas, sang dosen yang lulusan New York mengucap dengan fasih bahasa Inggris gaya Amerika rasa Taiwan. Yang juga menarik adalah ragam gaya tutur para mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru dunia seperti Jerman, Mongolia, Vietnam, dan Taiwan.  Sayang, kawan-kawan Taiwan tampak kurang pede, sehingga lebih sering berbicara dalam bahasa Mandarin.

Di kelas lainnya, sang dosen adalah bule Amerika. Mungkin karena sudah sering menyaksikan film Amerika atau ketemu orang Amerika, aku hampir tak pernah menemui kesulitan untuk menangkap setiap kata yang diucapkannya. 

Yang parah adalah sebuah kelas lain yang kuikuti, yang diajar seorang bule Australia. Butuh berminggu-minggu untuk membiasakan telinga ini dengan dialeknya yang sungguh jarang kudengar. Karena harus terus menerus konsentrasi 100 persen pada apa yang diucapkannya, tiga jam kuliahnya terasa sungguh amat melelahkan...

Sebelum pergi sekolah lagi, aku sempat mengajar di ITB yang berbahasa Inggris. Sempat minder juga karena dosen-dosen lain rata-rata bercas-cis-cus dengan logat keamerika-amerikaan. Lha, aku...jangankan berbahasa Inggris...wong berbahasa Indonesia saja, olok istriku, medhok Jawanya nggak bisa hilang jeee... Tetapi, seorang senior yang jadi pejabat di situ ngayem-ayemi (bahasa Indonesianya apa ya?) aku. Katanya, "Gaya bahasa Inggris orang Inggris dan orang Amerika saja beda. Orang India juga punya gaya sendiri--Indiglish. Saking terkenalnya gaya bahasa Inggris orang Singapura sampai diberi julukan sendiri Singlish. Jadi, jangan ragu untuk ngomong bahasa Inggris dengan gaya Indonesia --Indoglish-- atau rasa Jawa --Javaglish..."

Lho, I already bought that book!
Kok, buying again sih?
I told you many times tho?
Lha, I didn't know jeee... how iki?
Don't be like that, noo...!
Up to you lah...

Thursday, November 20, 2008

Menjaja Diri di Skype

Malam itu, seperti biasa aku sudah duduk di depan komputer, menunggu keluarga di Indonesia online untuk mengobrol (chat) melalui skype seperti telah disepakati sebelumnya. Tiba-tiba, muncul seseorang yang tak kukenal menyapa di skypeku, "在嗎?" katanya. Pikirku, sambil menunggu saat chatting dengan keluarga tiba, boleh juga nih dijawab untuk memperlancar mandarin. "妳是誰?"balasku menanyakan jati dirinya. Ia pun menjawab, "新朋友ㄚ. 我叫茜茜" (Ini teman barumu. Namaku qian qian/xi xi--nggak tahu mana yang benar..hehehe). 

Setelah beberapa saat, aku mulai kesulitan membaca karakter mandarin yang rumit dan kecil-kecil. Kutanya, apakah ia bisa berbahasa Inggris "我的中文不好. 妳會說英文嗎?" Dengan cepat ia menjawab, tak bisa, "不會". Jadilah, ketika giliranku menjawab, sering membutuhkan waktu sedikit lebih lama daripada dirinya, karena harus memahami apa yang dia tulis terlebih dahulu, dan kemudian memilih karakter yang tepat sebagai jawabannya.

Setelah mengobrol soal asal, tempat tinggal dan sejenisnya, kemudian dia mengaku sedang kesulitan keuangan. Dia bertanya apakah aku berminat untuk menggunakan jasanya. Aku yang tak lancar membaca karakter mandarin harus mengeja dan menginterpretasikan kalimat-kalimatnya untuk memastikan maksudnya. Dia pun melanjutkan penawarannya, bahwa untuk pelayanan komplit dipatok NT $ 3,500 untuk 2 jam. Wah...aku mulai sadar dengan apa yang ditawarkannya. Dengan berbagai cara kutolak tawarannya. Akhirnya, setelah yakin seyakin-yakinnya sedang berhadapan dengan mahasiswa miskin (tetapi bertakwa he..he..), tak berapa lama pun dia menghilang tanpa pamit...

Wednesday, November 12, 2008

Mantan Presiden Taiwan Ditahan

Mantan Presiden Taiwan, Chen Shui-bian, hari ini ditahan. Ia yang baru beberapa bulan lalu melepaskan jabatan kepresidenan setelah berkuasa selama 8 tahun, dituduh melakukan korupsi (dengan kerugian negara "hanya" sekitar Rp 5 miliar), pencucian uang, menerima suap, dan penggelapan dokumen. Ia memang bukan mantan penguasa pertama yang masuk bui. Mantan Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan juga pernah merasakan hidup di balik jeruji besi.

Menurut berita, setelah sekitar 11 jam menjalani pemeriksaan, ia akhirnya dibawa ke penjara di Taipei. Ia terlihat menggunakan borgol, dan begitu sampai di penjara langsung bersalin pakaian dengan seragam tahanan. 

Ini bukan pengalaman pertama Chen masuk penjara. Dua puluh dua tahun lampau, selama delapan bulan ia menghuni penjara yang sama selama sekitar delapan bulan di bawah hukum darurat militer karena dakwaan mencemarkan nama baik seorang pejabat KMT, partai yang berkuasa saat itu dan saat ini.

Begitulah kehidupan. Suatu saat seseorang bisa menjadi pejabat yang paling berkuasa di suatu negeri, suatu saat yang lain harus hidup di balik jeruji besi. Terlepas dari benar tidaknya tuduhan Chen bahwa penahanannya adalah rekayasa politik, kita perlu belajar dari Taiwan bahwa hukum semestinya berlaku pada siapa saja, tanpa pandang bulu ...

Monday, November 03, 2008

Hikmah Presiden Datang

Seorang kawan yang berkantor di rektorat IPB bercerita bagaimana hari ini orang-orang sedang sibuk memperbaiki apa-apa yang rusak, mencat ulang, dan mengganti ini itu, karena Presiden SBY akan datang besok pagi untuk memberikan Orasi Ilmiah dalam rangkaian peringatan Dies Natalis IPB ke-45. Sejak lulus doktor pada 18 September 2004, ini untuk kesekian kalinya SBY mendatangi acara yang digelar IPB. Bolehlah ia dikategorikan sebagai alumnus yang baik hati dan tidak sombong.

Kesibukan untuk berbenah menjelang kedatangan Presiden mungkin muncul karena keinginan untuk memuliakan tamu. Mungkin juga karena harapan agar atasan melihat kita mampu mengemban amanah, melihat hasil kerja kita rapi jali tiada cela. 

Saya jadi ingat cerita seorang guru di masa dulu. Seseorang pimpinan sekolah di sebuah daerah merasa tak tahan dengan kondisi jalan di wilayahnya yang begitu buruknya, tak ubahnya kubangan sapi. Menduga bahwa tak ada seorang kepala daerah pun yang akan rela dianggap tak mampu memimpin, dengan cerdik ia mengirim surat kepada Presiden RI saat itu (saya lupa Soekarno atau Soeharto ya...) untuk berkunjung ke sekolahnya meresmikan apaaa gitu (yang ini juga lupa), dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati. Simsalabim, Abrakadabra!!! Dalam sekejab, jalan yang rusak parah menjadi mulus, meski kemudian Presiden tak jadi datang.

Saya sendiri juga punya pengalaman serupa. Beberapa tahun berselang, bersama beberapa orang kawan satu sekolah, kami berniat mendirikan usaha dengan memilih bentuk koperasi. Dari sejak awal, pelayanan di Kandep dan Kanwil Koperasi memang sudah tidak beres. Dibilang kurang ini, ketika sudah dipenuhi, dibilang kurang itu. Macam-macam lah alasannya. Seorang kawan menyarankan untuk memberi uang pelicin agar urusan segera beres. Tetapi, saya yang selalu berusaha untuk tak melakukan hal-hal seperti itu menolaknya, dan mengupayakan sebuah cara lain. 

Maka, kutulislah sebuah email kepada Presiden Habibie, dengan tembusan ke Menteri Koperasi, mengeluhkan buruknya pelayanan birokrasi jajarannya. Setelah itu, email itu kucetak, kumasukkan amplop, dan kuserahkan langsung ke sekretaris Kakanwil. Simsalabim, Abrakadabra!!! Entah karena Habibie atau Menkop baca emailku, ataukah Kakanwilnya ngeper dilaporkan ke atasannya, yang jelas esok harinya ada petugas yang meneleponku, "Pak, segala izin telah selesai. Silakan diambil."