Wednesday, May 21, 2008

Ketika Mahasiswa Menguasai Gedung DPR/MPR

Hari ini, sepuluh tahun lampau, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Tentu saja, ada yang menyambutnya dengan perasaan sedih, dan ada pula yang menyambutnya dengan gembira. Tetapi, para mahasiswa yang memberi tekanan besar kepada presiden Indonesia selama 32 tahun itu, pastilah menyambutnya dengan suka cita. 

Benar, kejatuhan Soeharto memang tak dapat dilepaskan dari peran mahasiswa. Berawal dari keputusan MPR yang dengan segala alasan yang tak dapat diterima nalar, mengabaikan perasaan jenuh dan muak rakyat, mengangkat kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang kesekian kalinya. Perasaan marah tak dapat lagi dibendung kala Presiden kemudian mengangkat keluarga dan kroni-kroni dalam Kabinetnya.



Tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti membuat demonstrasi menentang Soeharto menjadi semakin eskalatif. Hingga kemudian polisi yang menjaga gerbang Gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, tak mampu menahan ribuan mahasiswa yang berhasrat masuk ke markas mereka yang menyebut diri sebagai wakil rakyat itu. Sejak saat itulah, para anggota DPR/MPR terusir dari kantornya, digantikan oleh para mahasiswa dari seluruh pelosok, terutama dari wilayah Jabodetabek.

Tentu saja, saya bagian dari puluhan ribu mahasiswa itu. Hanya saja, bedanya, bila mereka "hobi" jalan kaki dari Kampus UI Salemba, misalnya, saya lebih memilih naik taksi. Bila mereka memilih untuk menginap di Gedung DPR/MPR, saya memilih untuk pulang. Pokoknya, saya bagian kelompok mahasiswa yang nggak mau capek dan menderita deh, he..he..he..


Bisa dibayangkan, puluhan ribu mahasiswa tumplek blek di kompleks Gedung DPR/MPR yang sudah ditinggalkan pergi oleh para penghuni resminya. Di halaman, mobil box datang dan pergi membawa nasi bungkus, makanan kaleng, dan minuman dalam kemasan. Kumuh, hiruk pikuk, berantakan, dan kacau balau, itulah istilah-istilah yang tepat menggambarkan suasana saat itu. Setiap mahasiswa (merasa) berhak memeriksa keaslian status mahasiswa lainnya. Bak polisi, mereka memeriksa kartu mahasiswa sesiapa saja yang dicurigai. 

Karena hujan acap turun dan lantai tak pernah disapu apalagi dipel, bisa dibayangkan rupa lantai gedung wakil rakyat yang biasanya selalu kinclong. Mahasiswa maupun mahasiswi pun menguasai ruangan-ruangan kerja para anggota DPR/MPR. Pendek kata, mereka pindah kamar kos lah. Saya, yang beberapa kali mengunjungi gedung di bilangan Senayan itu saat normal, membandingkan kondisinya dengan saat itu sebagai : siang dan malam. 

Tuesday, May 13, 2008

Kerusuhan Mei, Sepuluh Tahun Lalu

Tepat di seberang Kampus UI Salemba berdiri megah showroom mobil Honda. Kulihat orang-orang berlarian memasuki gerai mobil itu. Dengan wajah beringas penuh kepuasan, orang-orang membawa keluar barang-barang seperti komputer, kursi, dan sejenisnya. Sebagian yang sudah berada di lantai atas membuang begitu saja beragam barang yang ada ke arah jalan Salemba. Barang-barang itu pun kemudian menjadi mangsa api di tengah jalan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan orang, menyemut di depan kampus UI pada petang tanggal 13 Mei itu, tepat sepuluh tahun lalu.

Hari itu, sehari setelah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, kerusuhan merebak di segenap penjuru Ibukota. Asap hitam pun membumbung tinggi di seantero kota. Sementara jalan-jalan menjadi sepi dari lalu-lalang kendaraan, baik pribadi maupun umum. Tak ada yang berani mengambil risiko dengan melintasi gerombolan massa yang sedang kalap. Pilihan bagi para mahasiswa yang saat itu sedang kuliah di Kampus Salemba hanya tersisa dua: pulang berjalan kaki atau menginap di Kampus. Sepanjang yang kuketahui, tak ada yang berani mengambil pilihan pertama.

Jadilah malam itu jalan Salemba hiruk pikuk oleh massa, dan Kampus UI Salemba hiruk pikuk oleh mahasiswa yang (terpaksa) menginap. Untunglah, gedung Magister Akuntansi, tempatku sekolah, memang didesain untuk memberikan kenyamanan (belajar). Malam itu, seluruh sofa pun beralih fungsi menjadi tempat tidur. Tidak seperti hari biasanya, Kampus UI Salemba malam itu juga bersih dari pedagang makanan. Alhasil, malam itu, hanya mie instan yang menjadi pengganjal perut.



Esok harinya, dua orang kawan menjemput dengan sebuah kijang tua. Bertiga, kami melihat kerusakan di seluruh penjuru kota. Hari itu, seluruh jalan tol tiada berpenjaga. Terlihat beberapa anak bermain di tengah jalan. Bekas kerusuhan masih terlihat dari toko-toko yang menghitam berjelaga, serta sisa-sisa bekas bakaran di tengah jalan. Meski konsentrasi massa masih terlihat di beberapa bagian kota, kami tak khawatir. 

Kerusuhan (tampaknya) juga dipicu oleh ketimpangan yang selama itu mereka rasakan. Buktinya, tak ada gangguan sedikit pun ketika kami keliling kota dengan sebuah kijang tua. Hingga suatu saat kami berhenti di daerah Cawang, di mana di seberang jalan terlihat kerumunan massa menguasai jalan. Terlihat olehku, dua orang dewasa dalam sebuah sedan melaju dari arah Pancoran menuju kerumunan massa. Sang pengemudi tampak ragu-ragu bagaimana harus bersikap. Massa yang kalap tak memberi kesempatan dan ampunan. Tak jelas apa yang diayunkan, tetapi kaca mobil terlihat pecah dan sang pengemudi pun terkulai. Dengan kemudi yang diambil alih kawan sebelah, mobil BMW itu kemudian melaju kencang dengan beberapa kali menabrak besi pembatas jalan.

Tak puas hanya melihat dari atas kendaraan, berjalan kaki aku menyusuri sepanjang jalan Otista. Terlihat jelas kerusakan yang ditimbulkan dari kerusuhan. Setelah sempat menghilang, saat itu baru kulihat aparat keamanan dari Korps Marinir menyusuri jalan. Sorenya, meski suasana masih mencekam, kehidupan mulai berdenyut kembali. Pedagang makanan keliling mulai terlihat menyusuri jalanan Ibukota. Seorang pedagang makanan dengan gerobak dorong bercerita dengan bangga hasil jarahannya kemarin. "Besok saya akan menjarah lagi," tekadnya mantap. 

Monday, May 12, 2008

Hari Ini, Sepuluh Tahun Lampau

Empat syuhada berangkat pada suatu malam, 
gerimis air mata tertahan di hari keesokan, 
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan, dan simaklah itu sedu sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, 
mengukir reformasi karena jemu deformasi, 
dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu,
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad 21,
Tapi malaikat telah mencatat prestasi kalian tertinggi di Trisakti, bahkan seluruh negeri, 
karena kalian berani mengukir alfabet pertama 
dari kata Reformasi Damai dengan darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini, menunduk di bawah garang matahari, 
tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi.
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama 
dan kalian pahlawan bersih dari dendam, 
karena jalan masih jauh dan kita memerlukan peta dari Tuhan

(Taufiq Ismail, 13 Mei 1998)