Friday, December 25, 2009

Kala Nonkristiani Merayakan Natal

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan di Tainan City

Tak pelak lagi, Natal adalah perayaan paling semarak dalam kalender umat Kristiani sejagat. Pemeluk Kristen yang jarang mengunjungi gereja pun biasanya tak melewatkan kesempatan merayakan hari raya yang sebagian umat meyakini jatuh pada tanggal 25 Desember, sementara sebagian yang lain merayakannya di awal Januari.

Kemeriahan perayaan Natal juga disumbang oleh bertransformasinya Natal dari sekedar aktivitas keagamaan menjadi sebuah kegiatan budaya dan komersial. Setidaknya, hal inilah yang tampak terlihat jelas di Taiwan. Padahal, sekitar 93% dari 23 juta penduduk Taiwan adalah penganut tradisi yang merupakan perpaduan antara Budha, Konghucu, serta Tao, dan hanya 4,5% saja yang memeluk Kristiani. Akan tetapi, bila melihat hiruk pikuk penduduk dalam menyambut perayaan Natal, terasa seolah-olah Kristen adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Demikian juga yang terlihat di Tainan, sebuah kota budaya yang juga ibukota Taiwan masa lampau. Sejak sebulan sebelum hari Natal tiba, seluruh penjuru kota telah sibuk berhias. Pohon terang terlihat dipajang di sekolah, universitas, pusat perbelanjaan, kantor, asrama, juga di tempat-tempat publik lainnya. Sosok penjaga toko berpakaian ala sinterklas amat lazim ditemui. Lagu-lagu Natal pun menjadi akrab di telinga. Di beberapa sudut kota, tak jarang terlihat sekelompok orang memainkan alat musik, melantunkan kidung-kidung Natal. Bahkan, terdapat beberapa pertunjukan musik dan kemeriahan lainnya yang sengaja diselenggarakan secara khusus guna merayakan Natal.

Pohon terang beragam ukuran dan bermacam-macam hiasan Natal juga dipajang di hampir setiap lantai di departemen tempat saya belajar, yang menempati sebuah gedung berlantai tujuh. Saya pernah bertanya kepada seorang staf departemen tentang kemungkinan banyak mahasiswa yang beragama Kristen sebagai alasan pemasangan ragam atribut Natal itu. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jawabnya. Apakah para dosennya? Ternyata, meskipun hampir seluruhnya lulusan Amerika Serikat, tidak satu pun yang memeluk Kristiani. “Lalu, mengapa tampak bersemangat memajang pohon terang?” tanyaku ingin tahu. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak punya jawabannya. Segala kemeriahan itu semakin terasa janggal bila mengingat bahwa hari Natal bahkan bukan merupakan hari libur. Kantor-kantor tetap buka dan sekolah-sekolah pun tetap masuk.

Memang, berlainan dengan di Indonesia yang perayaan Natal selalu juga berperspektifkan teologis, perayaan Natal di Negeri Formosa ini lebih condong sebagai peristiwa budaya dan komersial. Persis sama dengan saat orang merayakan tahun baru. Karenanya, meski bukan penganut Kristen, mereka rela menembus malam-malam yang menggigil di tengah musim dingin dan dengan penuh semangat memadati pusat-pusat perbelanjaan, memborong pernak-pernik Natal, mengirim kartu Natal, memasang hiasan Natal, dan dengan riang hati mengucapkan selamat Natal kepada semua orang. Karena itu, tak jarang kulihat wajah-wajah terkejut, heran, tak mengerti, dan penuh tanda tanya, ketika banyak kawan mengucapkan selamat Natal kepadaku namun mendapatkan jawaban aneh nan tak terduga, “Sorry, I am a Muslim and I don’t celebrate Christmas.”

Saturday, December 12, 2009

Mengunjungi TKI di Penjara Taiwan

kompleks detention center di Nantou County
kompleks detention center di Nantou County

Bersih, rapi, dan ramah. Itulah kesan yang segera tertangkap ketika kami berkunjung ke Nantou Detention Center. Hari itu, kami bertujuh, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh program magister dan doktor di berbagai perguruan tinggi di Taiwan, mengunjungi sebuah detention center di Nantou County, Taiwan bagian tengah. Kedatangan kami juga disertai oleh Imam Masjid Taichung, karena sesuai prosedur yang berlaku setiap kunjungan orang asing haruslah disertai oleh warga Taiwan.

Di gerbang depan, kami menyerahkan ID card untuk ditukar dengan kartu pengunjung, menjalani pemeriksaan suhu tubuh, dan disemprot cairan disinfektan. Di pintu masuk dalam, beberapa petugas menyambut kami dengan ramah. Seorang wanita petugas humas menjelaskan ada sekitar 20 detainee pria dan 60 detainee wanita yang berkewarganegaraan Indonesia di detention center tersebut. Karena pertemuan dengan detainee pria dan wanita akan dilangsungkan di lantai yang berlainan, kami pun segera membagi barang-barang yang kami bawa.

Sementara kawan-kawan putri pergi ke lantai dua untuk menjumpai detainee wanita, kami berempat menuju lantai tiga guna bertemu dengan sekitar 20-an detainee pria. Mereka tampak antusias menyambut kedatangan kami. Berseragamkan hijau muda, satu persatu mereka menjabat erat tangan kami. Banyak di antara mereka yang matanya berkaca-kaca. Barangkali mereka bersedih dengan keadaan yang sedang mereka alami atau teringat sanak keluarga di tanah air.

barang-barang yang disumbangkan
barang-barang yang disumbangkan

Sementara petugas detention center membongkar dan memeriksa seluruh barang yang kami bawa untuk para detainee, pertemuan pun kami mulai. Pertemuan diawali dengan perkenalan masing-masing, termasuk nama, asal, dan pekerjaan sebelum harus masuk detention center. Setelah siraman rohani singkat, kami pun mendiskusikan permasalahan yang tengah mereka hadapi. Sebelum menghuni detention center, para detainee pria umumnya bekerja sebagai anak buah kapal dan pekerja pabrik. Sedangkan sebagian besar detainee wanita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.

Permasalahan yang membuat mereka harus mendekam di detention center, sebagian besar adalah karena kabur dari kapal, pabrik, majikan, atau agen mereka. Tindakan itu terpaksa mereka lakukan karena kecilnya gaji yang mereka terima (bahkan ada detainee yang mengaku tidak dibayar selama beberapa bulan) atau tidak betah dengan majikan yang galak. Seorang detainee mengaku kabur dari agen setelah bosan menunggu lama tak juga dipekerjakan kembali setelah majikan lamanya meninggal dunia. Ada pula detainee yang beralasan kabur dari agen karena kesal hak-haknya atas uang libur dan sejenisnya ditilap. Nasib apes dialami seorang detainee wanita, yang langsung digelandang ke detention center itu begitu menginjakkan kaki di bandara Taiwan. Ternyata, sebelumnya ia telah pernah dideportasi dari Taiwan karena melarikan diri dari majikannya. Hebatnya, ia nekat mencoba kembali masuk Taiwan, yang akhirnya berakhir di detention center.

Detainee pria terlama, bekas pekerja pabrik berasal dari Tegal, telah menghuni DC Nantou selama 3 bulan. Sementara detainee wanita terlama mengaku telah mendekam di tahanan imigrasi itu selama 7 bulan karena kasus kawin kontrak dengan seorang warga Taiwan.

berfoto bersama para penjaga Nantou Detention Centerberfoto bersama para penjaga Nantou Detention Center (berjaket merah adalah
Imam Masjid Taichung)

Para detainee mengharapkan bantuan keuangan untuk dapat segera keluar dari detention center tersebut. Setiap orang rata-rata membutuhkan dana minimal NT $ 18,000, yang terdiri atas NT $ 8,000 untuk biaya tiket pesawat dan sisanya guna membayar denda. Mungkin karena bosan terkurung di tempat yang sama berbulan-bulan, mereka juga menyampaikan harapan agar kunjungan semacam yang kami lakukan dapat diperkerap. Yang menarik, tak satu pun tampak tertarik untuk memanfaatkan kesempatan ketika kami menawarkan bantuan menyampaikan pesan kepada keluarga mereka di tanah air.

Meski rasanya masih banyak yang ingin diobrolkan, waktu kunjungan kami yang singkat telah habis. Ketika kami meninggalkan pintu bangsal mereka yang berjeruji, tampak mereka bersuka cita mengambil beragam barang yang kami bawa seperti kurma (sumbangan Imam Masjid Taichung), mi, cemilan, pakaian, peralatan sholat, kitab suci Al Qurán, buku, serta majalah.

Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama para pegawai detention center. Sayangnya, usai berfoto, mereka memeriksa kamera kami satu persatu dan, dengan alasan pelanggaran atas hak asasi manusia, menghapus seluruh foto yang memuat gambar detainee.

Semoga Pemerintah kita dapat lebih memberikan perhatian kepada nasib para warganya yang sedang menderita di negeri orang…

berfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Centerberfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Center

Saturday, October 31, 2009

98,7% Vegetarian


Tiga tahun berlalu sudah. Bila saat-saat awal datang ke Taiwan terasa tak mudah menyesuaikan diri, kini, Alhamdulillah, terasa lebih mudah menikmati kehidupan. Saat beberapa waktu lampau berlibur di Indonesia, bahkan ada beberapa kawan yang meledek mataku yang katanya mulai sipit, meski warna kulit tak juga terang, ha..ha.. Bahkan, sering terasa kagok ketika harus menggunakan sendok dan garpu saat makan, gara-gara telah terbiasa menggunakan sumpit selama di Taiwan.

Di antara yang mulai terasa nyaman adalah juga soal makanan. Pada tahun pertama tak mudah menemukan makanan yang halal, bahkan tak jarang aku terpaksa dengan tidak sengaja makan makanan yang haram. Ikan oke, sapi masuk, kambing embat, ayam makan, dan juga (tak sengaja) babi (baca kisahnya di sini). Pada tahun kedua, daging sapi, daging kambing, dihindari. Daging ayam, makanan laut, dan vegetarian kini menjadi makanan pokok. Pada tahun ketiga, bersamaan dengan semakin meluasnya pengetahuan tentang warung-warung makan vegetarian, makanan vegetarian pun menjadi pilihan utama. Makan makanan laut pun bisa dihitung dengan jari.

Sebenarnya, banyak warung yang menjual daging ayam yang dimasak dengan beragam menu. Sayangnya, tentu saja kita tahu bahwa para pedagang tak menyembelihnya dengan mengucapkan atas nama Allah, sebagaimana syariat Islam. Jadilah, bila ingin sekali memakan daging ayam, kita harus pergi sendiri ke pasar tradisional, membeli ayam hidup, menyembelihnya sendiri, baru meminta sang pedagang ayam untuk membersihkan bulu dan memotong-motongnya sesuai permintaan kita.

Oleh karena itu, makan ayam adalah peristiwa yang langka dan istimewa. Selama semester enam yang lalu, misalnya, kucatat hanya empat kali makan daging ayam, yakni dua kali saat ada acara yang diselenggarakan para mahasiswa muslim, sekali saat acara pelantikan PPI Tainan, dan sekali saat pelatihan kewirausahaan di Masjid Kaohsiung. Selain itu, selain sesekali masak sendiri, lainnya adalah jatah mengunjungi lima warung makan vegetarian dan sebuah warung makan chou dou fu (tahu bau). Jadi, kalau dihitung-hitung, kira-kira sekarang sudah 98,7 % (terpaksa) vegetarian lah...

Saturday, June 20, 2009

Berkah Angin Kencang

Pagi-pagi, sekitar pukul 08:00, angin kencang sekali bertiup. Awan gelap pun menutupi langit. Padahal, belum lama berselang matahari terik sekali membagikan sinarnya. Aku segera berlari keluar memindahkan jemuran baju dari balkon lantai 2 ke tempat jemuran dalam di lantai 3, karena biasanya tak lama lagi hujan akan turun.



Karena angin bertiup amat kencang, banyak sekali buah mangga berjatuhan. Seorang ibu setengah baya berperawakan langsing terlihat bersemangat mengumpulkan puluhan mangga yang berserakan di sana sini. Ia tampak tak hirau dengan kemungkinan kepalanya kejatuhan buah mangga. Kuhitung, tak kurang dari empat puluh butir mangga berhasil ia kumpulkan.

Sekitar pukul 11:00, kembali angin bertiup kencang. Memperhatikan pengalaman pagi tadi, di mana saat angin bertiup kencang biasanya banyak buah mangga berjatuhan, kusegera berlari menengok keluar. Ah, ternyata dua orang ibu-ibu muda, tampaknya petugas kebersihan yang biasa menyapu halaman, sudah lebih dahulu berada di bawah dan sibuk berlari kesana-kemari mengumpulkan puluhan butir mangga yang rontok diterjang angin.

Sekitar satu jam kemudian, kembali angin bertiup kencang. Kembali kuberlari menengok ke bawah dari jendela toilet. Betul saja, puluhan butir mangga tak mampu menahan terpaan angin dan jatuh ke tanah. Dan yang menggembirakan, tak satu orang pun terlihat di bawah. Barangkali, "para pemungut mangga profesional" merasa telah terpenuhi targetnya dari dua periode terpaan angin kencang sedari pagi. Segera kuberlari ke bawah, dan dengan gesit kukumpulkan butir-butir mangga itu. Setelah kuhitung ternyata ada 18 butir, meski dua pertiga di antara tidak utuh lagi akibat membentur tanah dengan keras.

Saturday, June 13, 2009

Musim Mangga

Di depan dorm kami, persisnya di antara gedung Shengli 6 Dormitory dengan pelataran parkir, terdapat sebatang pohon mangga besar dan rimbun. Saat panas terik, banyak mahasiswa biasanya memilih memarkir sepedanya di bawah mangga tersebut. Banyak tupai juga suka bermain di sana. Meski bentuknya kecil, saat masak warnanya kemerahan dan rasanya manis sekali.

Saat ini sedang musim mangga, dan pohon mangga itu berbuah lebat. Petugas kebersihan dorm dan kawan-kawannya adalah kelompok pertama yang bersemangat mengambil mangga dari pohonnya. Mereka acap memanen dengan bersenjatakan galah besi yang dapat dipanjangpendekkan dan ujungnya dipasangi keranjang. Di pagi hari, saat belum banyak orang terbangun dan beraktivitas, ada pula ibu-ibu berbekalkan tas plastik mencari mangga yang berjatuhan.

Kelompok kedua adalah mahasiswa Vietnam. Berbekal galah bambu panjang, bersama-sama mereka sering berhasil membawa pulang beberapa tas kresek besar.

Kelompok ketiga adalah para mahasiswa Indonesia. Hari ini, misalnya, beberapa mahasiswa menjolok mangga dan berhasil menjatuhkan puluhan butir mangga setengah matang. Ada pula beberapa kawan yang memiliki cara unik untuk merasakan mangga manis secara gratis. Dari balkon di lantai 3, lantai tempat ia tinggal dan juga hampir sama tingginya dengan banyak buah mangga bertengger, melempar sepatu ke arah mangga-mangga tersebut. Seorang teman yang lain menunggu di bawah, bertugas melempar kembali sang sepatu kepada temannya yang berada di atas serta memunguti buah mangga yang jatuh.

Sebenarnya, tanpa usaha serius pun tidak sulit untuk dapat menikmati manisnya mangga itu. Seringnya hujan turun disertai angin kencang yang melanda Tainan membuat banyak mangga yang telah matang berjatuhan. Bila jatuh di sisi halaman parkir yang beraspal, biasanya mangga-mangga itu akan pecah. Kondisi yang sedikit lebih baik bisa diharapkan bila mangga-mangga itu jatuh di tanah yang terletak antara lapangan parkir dan dorm. Selama empat hari terakhir, misalnya, dari hasil memungut mangga jatuh saja aku mendapatkan setidaknya dua puluh butir mangga yang amat manis rasanya...

Friday, May 29, 2009

Kali Ini Masjid Penuh Sesak

Hari Jumat ini, sekitar pukul 12:30 aku sudah sampai di Masjid, setelah menempuh 30 menit perjalanan bersepeda dari asrama, termasuk 10 menit mampir di sebuah pasar tradisional untuk membeli buah-buahan. 

Ada yang berbeda hari ini, pikirku. Biasanya, saat seperti itu belum banyak yang datang, dan baru ramai menjelang khotib naik mimbar sekitar pukul 12:50. Tidak kurang dari sepuluh sepeda telah rapi terparkir di teras masjid. 

Aha! Aku baru teringat, sejak kemarin hingga hari Minggu, Taiwan menikmati libur nasional guna merayakan Dragon Boat Festival, sehingga pabrik-pabrik pun juga tutup. Dengan demikian, para buruh pabrik juga dapat pergi ke Masjid untuk mengikuti sholat Jumat. Biasanya, mereka tidak dapat meninggalkan pabrik, bahkan untuk mengikuti sholat Idul Fitri atau Idul Adha yang hanya setahun sekali.

Ternyata benar, di lantai 3, tempat sholat dilangsungkan, terdapat belasan buruh migran Indonesia sudah rapi duduk dalam shaf. Terdapat juga beberapa wajah Taiwan yang jarang terlihat di hari Jumat biasa. Tak urung, ruang sholat yang hanya berkapasitas 40 orang pun hari itu penuh sesak oleh sekitar 60 orang jamaah. 

Dibandingkan di Indonesia, nasib warga muslim yang mencari rezeki di Taiwan sungguh kasihan. Mereka berkesempatan mengikuti sholat hanya bila libur jatuh di hari Jumat.

Saturday, May 23, 2009

Dari Dialog Ekonomi Calon Presiden

Meski sedang jauh dari tanah air, berkat Youtube, aku juga berkesempatan menyaksikan Dialog Ekonomi Calon Presiden yang diselenggarakan oleh Kadin Indonesia. Meski jumlah video yang diunggah tak sama jumlahnya, yakni hanya 2 video untuk JK, 6 video untuk SBY, dan 9 video untuk Megawati, namun rasanya cukuplah sebagai bahan guna menilai penampilan ketiga calon presiden.

Dari sisi penguasaan panggung, ketiga kontestan memiliki nilai yang relatif sama. Ketiganya tampak nyaman berjalan ke segala arah, meski SBY tampak lebih jaim, sementara Mega dan JK tampil lebih santai, hangat dan akrab. Ketika menjawab tentang pentingnya penggunaan produk lokal, JK bahkan mencopot sepatunya sambil menyebutkan merknya, JK collection. Ia bahkan berulang kali meledek Rina Fahmi Idris, putri Menteri Perindustrian, yang bertanya mengenai strategi pengembangan brand lokal, namun ternyata menggunakan sepatu dan tas produksi luar negeri.

Dari segi penggunaan bahasa Indonesia, SBY tampil dengan bahasa yang paling rapi dan teratur, disusul JK, dan terakhir Mega. Struktur kalimat yang digunakan Megawati paling sering berantakan, kadang meloncat dari satu topik ke topik lain tanpa menyelesaikan kalimat sebelumnya, dan paling banyak menggunakan kata-kata sambung atau penghubung yang sesungguhnya sama sekali tidak perlu, yang tampaknya terucap sambil memikirkan apa yang hendak diucapkan berikutnya. Tampaknya tim sukses Mega lalai melatih sang capres dengan pertanyaan yang sebenarnya mudah ditebak akan muncul di acara semacam itu.

Dalam penggunaan bahasa Inggris, mungkin karena pernah mengikuti training dan bersekolah di Amerika Serikat, SBY tercatat paling fasih melafalkan kata-kata bahasa Inggris, meski ia sempat terbalik kala ingin mengucap, "at the beginning of the end of crisis." Meski dengan pelafalan yang tak sebagus SBY, JK mengucapkan beberapa kata berbahasa Inggris tanpa cela. Sementara itu, Megawati beberapa kali mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya mudah ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, setidaknya ada tiga kata yang tercatat dilafalkan dengan cara yang tidak lazim, yakni: " sustainable", "pushing", dan "treadmill."

Saat menjawab pertanyaan, setidaknya tiga kali Megawati mengawali dengan kalimat, "Pertanyaan yang sulit." Bahkan, ketika ditanyakan tentang program 100 hari bila ia terpilih lagi sebagai presiden, ia menolak menjawab dengan dalih hal itu lebih cocok diputuskan saat sudah terpilih kelak. Padahal, sang pengusaha jelas-jelas menanyakan program 100 hari untuk mengetahui prioritas kebijakan jangka pendek sang calon presiden, sebagai sebuah referensi penting bagi pengusaha dalam menentukan dukungan. Dibandingkan Megawati, JK dan SBY tampak lebih tangkas dan mengena dalam menjawab pertanyaan (dan gugatan) para pengusaha.

Dari segi kedalaman jawaban, SBY bisa disebut paling bagus. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan sistematis dan mengena. Dengan gayanya sebagai pengusaha, JK cenderung mengedepankan hal-hal yang teknis dan praktis. Sementara, lagi-lagi Megawati tampaknya berada di bawah nilai kedua pesaingnya. Jawaban-jawabannya acap tak mengena dan tak fokus. Rasanya, jauh dari standar jawaban seorang pengambil kebijakan nasional teratas.

Friday, May 15, 2009

Because I am a Muslim ...

Waktu sudah menunjukkan setengah tujuh malam lewat beberapa menit kala aku usai menunaikan sembahyang magrib. Rasanya malas sekali untuk berangkat kuliah pengganti yang dijadwalkan pukul 19:00-21:00 malam itu. Tetapi, juga terasa tidak nyaman untuk membolos, karena sebelumnya sang dosen telah mengkonfirmasikan waktu kuliah pengganti ini kepada para mahasiswa, dan aku sudah berjanji bisa hadir. Apalagi, ia berjanji akan membelikan pizza hut sebagai makan malam untuk seluruh kelas.



Ternyata, hampir seluruh mahasiswa hadir. Dan, setelah satu jam berlalu, bu dosen pun meminta dua orang mahasiswa untuk membeli pizza, yang berjarak sekitar 10 menit dengan menggunakan skuter, termasuk beberapa kali berhenti di lampu merah. Sebelumnya, bu dosen ini bertanya macam pizza yang diinginkan para mahasiswanya. Ketika teman sebelahku menyampaikan kalau aku tak boleh memakan babi. sang dosen muda yang pernah tinggal di Inggris dan Amrik ini tampak terperanjat.

"Why?" ia bertanya. "Is it because of health reason? Tradition? or...?
"Because I am a Muslim," jawabku sambil tersenyum.
"Really?!!" ia bertanya seolah tak percaya. "So, you have to pray five times a day?" tanyanya memastikan dengan menanyakan hal yang tampaknya paling diingat tentang Islam.
"Yes," sahutku.
Kemudian kami sedikit berbincang tentang kewajiban sholat lima waktu, sebelum ia kembali mengurus pesanan pizza.

Beberapa saat kemudian, saat ia berjalan mendekati tempat dudukku, kutanyakan alasan mengapa ia tampak begitu terperanjat mengetahui aku seorang muslim. Dan jawaban yang dia kemukakan sungguh membuatku ganti terperanjat. Katanya, "I thought muslims are only those who come from middle eastern countries."

"You are absolutely wrong," sergahku. "As a matter of fact, Indonesia is the world's most populous muslim country," lanjutku sambil menerangkan keberagaman kehidupan agama di Indonesia.

Diskusi pun terputus ketika pesanan pizza datang. Hanya sayang, tak seperti bila membeli pizza di Indonesia, di sini tak ada saus pedas yang menyertai. Rasanya kurang greget deh...

Thursday, April 09, 2009

(Terpaksa) Golput

Menurutku, ada tiga kriteria yang seharusnya dimiliki oleh setiap caleg, yakni integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Integritas bermakna mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Mirip dengan pengertian kejujuran. Selama lima tahun masa bakti anggota DPR RI 2004-2009, kita membaca begitu banyak anggota legislatif yang terjerat beragam kasus, dari soal penyuapan, korupsi, wanita, penyalahgunaan wewenang, mangkir dari tugas, serta beragam tindakan tercela lainnya.

Kriteria kedua adalah kapabilitas, yakni kemampuan atau kecakapan dalam melaksanakan tugas. Dalam kurun lima tahun menjabat, banyak sekali anggota DPR yang tidak pernah terdengar kiprahnya, baik di ruangan maupun saat kunjungan kerja. Besar kemungkinan, mereka termasuk golongan yang sebenarnya sama sekali tak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota legislatif. Banyak kesaksian yang menggambarkan bagaimana anggota DPR, yang barangkali ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya duduk dan tidur di ruangan, memutuskan untuk mengajukan pertanyaan dalam Rapat Kerja maupun Rapat Dengar Pendapat. Tetapi, ampuuuuuuuuunnn, pertanyaan yang diajukan itu seringkali tidak hanya sekedar tidak bermutu, namun yang lebih buruk lagi adalah pertanyaan yang diajukan "salah" dan kemudian menunjukkan kapasitas asli dirinya.

Seorang kolega pernah menceritakan pengalamannya saat berdiskusi tentang efek rumah kaca dengan para anggota DPR. Saat tiba sesi tanya jawab, seorang anggota DPR dengan gaya yakin bertanya, "Sekarang banyak gedung didirikan yang seluruhnya menggunakan kaca. Kaca-kaca ini, menurut saya adalah sumber efek rumah kaca yang harus diperhitungkan." Dan sang kolega pun hanya mampu tercenung tak percaya. Saya percaya, daftar semacam yang menunjukkan rendahnya rata-rata kapabilitas para anggota DPR akan dapat dibuat sangat panjang...

Syarat ketiga adalah akseptabilitas, yakni seberapa tinggi tingkat keberterimaan calon di masyarakat. Dari 560 anggota DPR 2004-2009, hanya ada dua orang yang perolehan suaranya melewati bilangan pembagi pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruhnya melenggang ke Senayan meski memperoleh dukungan yang amat minim.

Saya masih ingat saat pemungutan suara seperti hari ini, lima tahun lampau, di Rawamangun, Jakarta Timur, tempat kami tinggal saat itu. Tiga orang wanita, istriku dan dua orang asisten di rumah, menunggu "fatwa" dariku tentang calon anggota legislatif (caleg) yang harus dipilih. Kami pun bersepakat untuk memilih Drajad Hari Wibowo, caleg nomor urut 1 dari Partai Amanat Nasional.

Pilihan terhadap Drajad bukanlah asal-asalan, melainkan telah melalui proses penelitian yang saksama berlandaskan ketiga kriteria di atas. Alhamdulillah, hingga sekarang ia tidak saja tetap menunjukkan kinerja yang cemerlang, namun juga tidak pernah tersangkut dalam aktivitas yang mencemarkan nama diri. Sayang, tampaknya karena ketidakmampuannya bertahan di tengah lingkungan DPR yang dirasa telah tercemar, ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi pada periode 2009-2014 ini.

Meski tidak mudah menemukan caleg dengan kualifikasi seperti Drajad Hari Wibowo, sebenarnya aku masih berniat menggunakan hak pilih. Melalui pendaftaran pemilih online yang ada di website KDEI, kudaftarkan namaku, kemudian ada konfirmasi: "Nama Anda telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara." Amanlah, pikirku. Namun, hingga Daftar Pemilih Tetap (Tambahan) disahkan pun, namaku tetap tak tercantum. Jadilah, kali ini aku (terpaksa harus) golput.

Thursday, April 02, 2009

The Other Winter Days

Heater sudah dimasukkan kotaknya kembali. Selimut sudah dicuci, dilipat, dan dimasukkan ke dalam lemari. Jaket hangat pun telah dipensiunkan. Ya, sudah hampir dua bulan Taiwan memasuki musim semi. Udara cerah, meski sesekali turun hujan disertai angin kencang. Matahari pun acap membagikan sinar hangatnya. Bunga-bunga indah bermekaran.


Namun, seminggu terakhir ini, udara dingin kembali menerpa. Bila malam tiba, rasanya tak mampu bertahan tanpa jaket hangat melekat. Meski suhu tak sampai sedingin musim dingin yang kadang mencapai 8 derajat celcius, namun beberapa hari ini suhu malam hari hingga menjelang subuh sering turun hingga 15 derajat celcius. Cukup dingin untuk membuatku kembali membuka lipatan selimut, membungkus badan dengan jaket, dan mengenakan kaos kaki saat tidur, meski masih tetap tanpa heater menemani.

Sunday, March 29, 2009

Ironi Laskar Pelangi

Tadi malam, selama sekitar dua jam, aku menyaksikan film Laskar Pelangi melalui Youtube. Sebenarnya, sudah sejak sekitar satu tahun lalu aku memiliki e-book Laskar Pelangi. Tidak berapa lama kemudian, kubeli pula edisi cetaknya. Akan tetapi, hingga sekarang keduanya belum pernah kubaca. Jadilah, semalam merupakan perjumpaan pertama dengan Laskar Pelangi.

Meskipun kisah Laskar Pelangi berlatarbelakangkan keadaan di Belitong, sebuah pulau kecil di Provinsi Bangka Belitung, pada masa 1970-an, namun sesungguhnyalah kondisi di film itu masih amat jamak dijumpai saat ini di banyak wilayah lain di Indonesia. Tak perlulah pergi jauh ke pelosok negeri bila hanya ingin menjadi saksi kondisi memprihatinkan sarana pendidikan di tanah air. Di beberapa wilayah di Jakarta pun, ibukota negeri kita, atap bocor, langit-langit menganga, atau tembok yang hampir runtuh, amat mudah ditemukan.


Di film itu juga dikisahkan tentang gaji guru, yang meski jumlahnya kecil pun, sering tertunda pembayarannya. Sekarang pun, setelah hampir 64 tahun merdeka, masih acap kita dengar berita bagaimana gaji guru di beberapa tempat yang hanya berbilang Rp 100.000 - Rp 200.000 tidak dapat diterimakan tepat waktu. Jadilah, cerita seorang guru yang setelah menunaikan tugas sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kemudian berkarya sebagai tukang ojeg atau pemulung sering kita baca di media massa.

Ironisnya, pada saat yang hampir bersamaan, kondisi yang bertolak belakang tidak jarang terjadi, yang membuat kita layak mempertanyakan kebenaran arah perjalanan kita sebagai sebuah bangsa selama ini.

Lihatlah, di saat banyak murid menyabung nyawa bersekolah di gedung yang atapnya hampir ambruk, beragam tugu peringatan miliaran rupiah didirikan. Di saat gaji guru yang hanya seratusan ribu rupiah tidak mampu dibayarkan, mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah ludes terjual. Di saat ada murid sekolah menggantung diri karena malu tak mampu membayar uang sekolah, ribuan orang antre hingga tengah malam untuk membeli sebuah iPhone seharga lebih dari sebelas juta rupiah. Dan daftar pun bisa menjadi sangat panjang. Ironi sebuah negeri yang (konon) menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu falsafah hidupnya...

Saturday, March 07, 2009

NTU Kembali Meminta Korban

Kemarin malam, lima hari setelah tewasnya David Hartono Widjaja, seorang staf School of Electrical and Electronics Engineering (EEE) Nanyang Technological University (NTU), sekolah yang sama tempat David belajar, ditemukan tewas menggantung diri di Apartemen khusus staf NTU yang ditinggalinya. Zhou Zheng, warga asal China yang tewas itu, juga lulusan School of EEE NTU, dan baru mulai bekerja tepat saat tragedi yang menimpa David terjadi.

Saat memberi keterangan tentang David, NTU menyatakan bahwa beasiswa David telah dihentikan sejak sebulan sebelumnya. NTU seolah ingin mengesankan bahwa David tidaklah cukup pintar, stres dan tertekan karena beasiswanya dihentikan. Padahal, orang tuanya mengaku bagaimana David menyampaikan persoalan diputusnya beasiswanya kepada keluarga dengan cengengesan. Menariknya, saat menyampaikan jati diri korban, NTU juga menyampaikan informasi bahwa Zhou Zheng adalah alumnus School of EEE NTU dengan 2nd Class Upper Honours. Orang yang membaca informasi ini akan bertanya-tanya, apa relevansi predikat kelulusan dengan kematian? Apakah orang yang lulus dengan First Class Honours tak mungkin bunuh diri?

Banyak orang kini percaya, there must be something wrong with NTU...

Friday, March 06, 2009

Siapa Mau Belajar di Singapura

Sejak kasus tewasnya David Hartono Widjaja, mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) asal Indonesia, banyak blog dan milis memberitakan sisi-sisi lain yang tak diungkap media-media resmi. Misalnya, banyak fakta (dan opini) yang diungkap yang membuat kita layak mempertanyakan kebenaran arus utama berita selama ini yang menyebutkan David menusuk profesornya, kemudian mengiris tangannya sendiri, sebelum akhirnya terjun dari lantai 5 sebuah gedung di kampusnya.

Selain memaparkan fakta-fakta (dan opini) baru yang kemudian menempatkan David sebagai korban, kerasnya perjuangan para mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi Singapura juga banyak diungkap oleh para blogger dan milister. Mereka yang merupakan para pelajar pilihan, sebagian bahkan mantan partisipan olimpiade matematika, fisika dan yang sejenisnya, banyak yang diceritakan mengeluh dengan tekanan yang mereka terima selama belajar di Singapura yang seolah-olah menjadikan mereka hanya sebagai mesin penghasil paten, paper, dan luaran akademis lain sebagai imbalan atas beasiswa yang mereka terima. Beberapa di antara mereka bahkan dikabarkan pernah mencoba mengakhiri hidupnya karena beratnya tekanan.


Menariknya, hanya berselang beberapa hari dari tewasnya David, Negeri Singa itu kembali diguncang oleh kematian seorang mahasiswa. Kali ini korbannya adalah Scott Jared Monat, peserta program pertukaran mahasiswa asal Amerika Serikat di National University of Singapore (NUS). Hari ini, Wu Wenjie, warga China yang menjadi mahasiswa di Singapore Institute of Materials Management ditemukan tergantung dengan kondisi tubuh sudah membusuk. Ketiga kasus kematian mahasiswa ini, bagaimanapun diyakini akan mempengaruhi persepsi orang tentang Singapura sebagai tujuan belajar.

Dari dua kali mengunjungi Singapura, memang tidak dapat diingkari kesan yang tertangkap sebagai tempat yang nyaman untuk menimba ilmu. Selain perguruan-perguruan tinggi yang berkelas dunia, juga negerinya yang bersih, rapi, teratur, dan aman. Ketika kusempatkan jalan-jalan lewat tengah malam, tak ada gangguan sedikit pun yang kualami. Namun, banyak orang menuding bahwa segala kenyamanan itu harus ditukar dengan kebebasan warganya. Memang, seperti kata orang, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau...

Tuesday, March 03, 2009

Mahasiswa Tikam Profesor

Sejak kemarin, media massa ramai memberitakan seorang mahasiswa asal Indonesia yang menikam profesornya di Nanyang Technological University, Singapura. Usai menikam, sang mahasiswa menemui ajal setelah melompat dari lantai 5 sebuah gedung di kampusnya. Sebulan sebelumnya, di Chuo University, Tokyo, seorang profesor juga ditikam di toilet kampusnya, sesaat sebelum memberikan kuliah. Penikamnya diduga adalah mahasiswanya sendiri.

Beragam persoalan memang acap mendera mahasiswa, mulai dari masalah studi, hubungan dengan dosen, beasiswa, atau masalah relasi pria-wanita. Beberapa di antara mereka memilih mengakhiri hidup untuk melarikan diri dari masalah. Sekitar tiga-empat bulan lampau, misalnya, seorang mahasiswa NCKU asal Myanmar tewas setelah menggantung diri di kamar asramanya yang hanya berjarak dua puluhan meter dari asrama tempatku tinggal, konon karena ada masalah dengan pacarnya.

Kisah di Departemen of Electrical Engineering NCKU lebih menyayat hati. Seorang mahasiswa PhD di sana menuturkan, gedung tempatnya kuliah telah merenggut nyawa tiga orang mahasiswa. Dua orang melompat dari lantai 12, sedangkan seorang lagi memilih menggantung diri. Malah, dia mengaku melihat sendiri korban terakhir, seorang mahasiswa program master, menjemput ajal.

Tak lama setelah kasus di Singapura mencuat, beragam milis yang kuikuti ramai membahasnya. Seorang kawan menyarankan membuat bagian khusus Bimbingan dan Konseling di PPI Tainan. Seorang senior mengimbau, siapa saja yang memiliki masalah apa saja agar terbuka dan menyampaikan kepada temannya. Seorang lagi malah menyarankan untuk menerjemahkan berita kasus NTU ini dalam bahasa Inggris dan Mandarin, kemudian mengirimkannya kepada para profesor masing-masing di Taiwan. Mungkin maksudnya, bila tak ingin menemui masalah, jangan main-main dengan mahasiswa Indonesia ya...

Friday, February 27, 2009

Musim Kawin

"Undangan Pernikahan", demikian subjek yang sering muncul di milis mahasiswa muslim di Taiwan selama dua bulan terakhir ini. Memang, musim libur kuliah acap dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk melangsungkan pernikahan. Pada libur musim dingin yang baru lewat, misalnya, ada empat mahasiswa yang melangsungkan pernikahan. Jumlah yang lebih kurang sama juga tercatat saat libur musim panas lalu.

Pasangan yang baru menikah ini ada yang kemudian tinggal bersama di Taiwan, ada pula yang (terpaksa) hidup terpisah, yang satu di Taiwan, sementara pasangannya tinggal di Indonesia. Jadilah, sekarang kunjungan ke tanah air tidak lagi selalu berarti riset, tetapi bisa pula untuk menengok istri (suami), menengok anak, menemani istri melahirkan, dan sejenisnya...

Saturday, February 21, 2009

English Name, Chinese Name

"What's your English name?", tanya sang dosen yang masih muda dan cantik kepada seorang mahasiswi, setelah sang mahasiswi memperkenalkan nama Mandarinnya. 
"I don't have an English name," jawab sang mahasiswi tersipu-sipu.
"Would you like to pick up one now?" tanya sang dosen, terkesan setengah mendesak.
"I have no idea," balas sang mahasiswi sedikit kebingungan.
"Okay, how about Alice? Like 'Alice in Wonderland'?" ujar sang dosen. Kami pun tersenyum-senyum menyaksikan sang mahasiswi yang (seolah) tak berdaya tiba-tiba mendapatkan sebuah nama baru, yang akan harus dipakainya setidaknya sepanjang satu semester di kelas tersebut.



Kejadian seperti di atas bukan sekali itu saja kusaksikan. Di kelas-kelas yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, sang dosen biasanya "memaksa" para mahasiswanya untuk menggunakan nama Inggris, alih-alih nama asli yang berbahasa Mandarin. Pada pertemuan awal satu semester lalu, misalnya, seorang kawan Taiwan memilih nama Stony setelah didesak oleh sang dosen untuk memilih sebuah "English name". Tetapi, mungkin dirasa kurang keren atau barangkali kemudian dia sadar maknanya tak cukup bagus, seminggu kemudian dia mengumumkan perubahan namanya menjadi Jeff.

Masih mending, si Jeff ini membuat pengumuman ketika mengganti namanya. Pernah, suatu hari, aku berulang kali memanggil seorang teman sekelas, "Rachel! Rachel!" Namun, sang gadis ayu itu terus saja berlalu seolah tak mendengar panggilanku. Ketika aku berhasil menghentikannya dan kutanyakan alasan ia tak berhenti, dengan santai ia menjawab, "Oh, I have changed my name. My name is Fiona now." Memang, bagi orang Taiwan, memiliki "English name" bukanlah sebuah keharusan. Mereka baru merasa perlu memiliki nama Inggris bila aktivitas mereka berhubungan dengan orang asing yang sering menemui kesulitan dalam melafalkan dengan tepat nama asli mereka yang memiliki empat nada yang berbeda. 

Bila orang Taiwan perlu "English name", orang asing yang tinggal di Taiwan juga perlu memiliki "Chinese name". Begitu datang ke bumi Formosa, setiap mahasiswa akan memperoleh "Chinese name". Ada beberapa cara memperoleh nama China tersebut. Misalnya, dipilihkan nama sesuai dengan kepribadiannya. Seorang teman cantik asal Aceh yang (mengaku) sabar dan pendiam, contohnya, mendapatkan "Chinese name" yang sesuai dengan sifatnya tersebut, meski pelafalannya amat berbeda dengan nama aslinya. Sedangkan sebagian besar yang lain biasanya memperoleh nama yang pelafalannya mirip dengan nama aslinya. Sementara, para mahasiswa keturunan Tionghoa biasanya akan menggunakan nama China sesuai dengan yang diberikan keluarganya.

Berlainan dengan orang Taiwan yang dapat dengan mudah mengganti nama Inggrisnya karena tak terkait dengan urusan administrasi kependudukan atau hukum, tidak demikian halnya dengan para pendatang. Dalam jangka waktu lima belas hari setelah datang di Taiwan, setiap pendatang wajib mengurus Alien Resident Certificate di Kantor Imigrasi. Di kartu ARC ini ada kolom yang berisikan nama China kita. Bahkan, bagi mahasiswa, nama asli bolehlah dimasukkan laci, karena segala urusan administrasi kemahasiswaan hanya mencantumkan nama China kita dalam huruf kanji. Pernah seorang mahasiswa asing yang belum hafal nama Chinanya kebingungan ketika sang dosen menunjukkan daftar mahasiswa di kelasnya sambil berujar, "What's your Chinese name? I have only Chinese names on this list." Mbulet, kan?