Saturday, December 30, 2006

Idul Adha tanpa Sholat Id

Begitu sibuknya menyiapkan presentasi, aku sampai lupa kalau hari ini Idul Adha. Idul Fitri tempo hari, masih sempat sholat Id karena meski harus presentasi, namun di siang hari. Hari ini, terpaksa tidak bisa ikut sholat Idul Adha, karena harus presentasi pagi hari. Itulah Taiwan. Tidak ada hari libur saat perayaan keagamaan. Idul Fitri, Natal, Idul Adha, Waisya, Paskah, dan sejenisnya, tetap merupakan hari kerja. Lucunya, banyak hari libur yang "aneh-aneh". Ada "International Week holiday" selama tiga hari, Mid-Autumn Festival (1 hari), National Day (1 hari), Founding Day of ROC (1 hari), Lunar New Year (9 hari), Memorial day (1 hari), Inter-University Week (3 hari), Tomb-Sweeping Day (1 hari), Sport Day (1 hari), dan Dragon Boat Festival (1 hari).

Pagi ini aku harus presentasi untuk mata kuliah Corporate Governance. Mata kuliah ini sebenarnya menarik, hanya sayang diselenggarakan dalam bahasa Mandarin. Jadilah, setiap Sabtu pagi, selama tiga jam, aku harus nongkrong di kelas tanpa paham apa pun yang diterangkan oleh sang profesor atau yang didiskusikan di kelas (kata kawan-kawan, itu namanya listening without understanding). Lebih menyedihkan lagi, karena sang profesor ini tampaknya baik dan lucu. Berulangkali kelas dipenuhi gelak tawa, yang tentu saja tak bisa kunikmati kelucuannya. Bukan itu saja, sudah tiga kali kelas dibatalkan hanya dengan pengumuman lisan. Untungnya, ada teman yang berbaik hati selalu menerjemahkan pengumuman penting kepadaku. Kalau tidak, bisa kecele deh......

Selama dua bulan terakhir perkuliahan, pada setiap kali pertemuan, dua mahasiswa PhD harus presentasi topik tertentu dari textbook The Theory of Corporate Finance, karya Jean Tirole. Ini buku yang selain amat tebal juga amat susah dimengerti. Model matematikanya jauh lebih banyak daripada narasinya. Jangankan membaca hanya sekali, berulang kali pun belum tentu akan faham maksudnya.

Seperti juga sang Profesor, tentu saja seluruh mahasiswa selalu presentasi dalam bahasa Mandarin. Makanya, ketika giliranku tiba, karena mereka tahu betul kemampuan bahasa Mandarinku nol besar, semua takzim mendengarkan, dengan keyakinan aku akan presentasi dalam bahasa Inggris. Kala mendengar bahwa kalimat pertama yang kuucapkan adalah "Laoshi....", seluruh kelas dipenuhi gelak tawa (padahal aku belum menyelesaikan kalimat pembuka, yang memang sudah kuhafalkan dalam bahasa Mandarin). Tampak sekali mereka tertawa geli dengan bahasa Mandarinku yang medok sekali dengan aksen Jawa... ha..ha..ha...

Wednesday, December 27, 2006

Earthquake

"Is it an earthquake?", aku bertanya. Dengan santai, sambil tetap mengetik, ia menjawab "Yes." Demikianlah percakapanku dengan teman sebelahku sekitar satu jam yang lalu, ketika gedung tempat kami berada terasa diguncang gempa hebat hingga terasa bergoyang (dari berita kemudian diketahui gempa ini berkekuatan 5,9 skala richter). Orang Taiwan tampak santai, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan gempa (Taiwan terletak di dekat persimpangan dua lempeng tektonik) ditambah keyakinan mereka terhadap kualitas bangunan. Konon, bangunan-bangunan di Taiwan didesain untuk tahan gempa berkekuatan hingga 7 skala richter.

Namun, suasana sedikit berbeda terlihat semalam, sekitar pukul 20.26. Saat gempa pertama terjadi, sama sekali tidak terlihat kepanikan. Orang-orang tetap santai melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Bahkan kuliah tetap berlangsung. Namun, sekitar delapan menit kemudian, guncangan keras terasa diiringi padamnya aliran listrik (entah mana yang benar, menurut berita gempa saat itu berkekuatan 6,7 skala richter, sementara media masa di Indonesia menyebutkan 7,1 skala richter). Kontan orang-orang berlarian menuju ruangan terbuka. Tidak seperti biasanya, malam itu banyak orang memutuskan pulang lebih awal (kampus biasanya mulai sepi pukul 22.00, bahkan banyak yang beraktivitas hingga tengah malam), meski gedung-gedung telah terang kembali.

Sesampai di dorm, orang-orang masih berkumpul di lapangan, berjaga-jaga bila terjadi gempa susulan, sementara beberapa Taiwanese dengan berani memutuskan kembali ke kamarnya. Tampaknya, mereka memang telah terbiasa dengan gempa. Bagi banyak foreigner, gempa tadi malam adalah pengalaman pertama mereka. Seorang teman dari kawasan Afrika Utara, bahkan menuntun sepedanya untuk jarak yang cukup jauh karena tidak memiliki daya lagi untuk mengayuh. "I want to leave Taiwan," ujarnya serius.

Monday, December 25, 2006

Christmas Day

Pagi tadi anakku menelepon. Hari ini ia genap berusia enam tahun. Ibunya, tantenya, dan neneknya patungan membelikannya sepeda. Aku masih ingat, enam tahun lampau, aku menunggu dengan cemas istriku yang harus menjalani operasi cesar, setelah tetap dalam kondisi pembukaan dua sesudah berjam-jam ketubannya pecah. Dua hari sebelum melahirkan, istriku masih kontrol ke dokter kandungan, dan diberi tahu lagi bahwa perkiraan kelahiran masih dua minggu lagi. Jadi kami sama sekali tidak menyangka ketika harus melahirkan secepat itu.

Saat itu juga dua hari menjelang Idul Fitri, sehingga ada yang mengusulkan namanya Fitri atau something like that (kupikir, agak kurang kreatif, karena sudah banyak orang dengan nama itu). Oleh karena itu, dengan beragam pertimbangan mendalam (lho, kan nama akan dipakai seumur hidup....) akhirnya kuberi ia nama Hanan Hanifah. Dalam bahasa Arab, Hanan berarti mercy, benevolence, atau compassion. Sedangkan Hanifah bermakna true believer.

Karena dilahirkan saat natal (ini natal yang pasti dikenang banyak orang, karena bom meledak di banyak tempat di Jakarta), anak pertamaku ini akan selalu merayakan ulang tahunnya pada hari libur. Setidaknya, kalau ia tidak tinggal di Taiwan. Benar! Natal, dan juga hari raya keagamaan lainnya, bukanlah hari libur (Baca juga: "Lebaran Tanpa Ketupat", saat aku bahkan harus presentasi tepat di hari lebaran lalu). Meski begitu, hari natal, terutama malam natal, amat meriah diperingati di Taiwan. Menariknya, sebagian besar di antara mereka yang merayakan natal justru tidak beragama kristen. Di Taiwan, natal adalah peristiwa budaya, dan bukan peristiwa keagamaan. Bagi mereka, yang terpenting adalah pesta, makan, minum, musik, dan bergoyang. Ayo, tarik, maaaaaangg...................!!!!

Wednesday, December 20, 2006

Ibu

Oleh Emha Ainun Najib

Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahi pun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya."Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya. "Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke halaman depan dengan mudahnya.Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.

"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu. "Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam." Sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang," jawabnya pendek. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-Qur'an selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-Qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.

Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.

Adzan isya berkumandang, Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar."Duh Allah, sayangi Mamah," spontan saya memohon.

"Neng..." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya."Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang.

Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apa pun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.

Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!
kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!
kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!
kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan... .Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?.. Pernahkah. .?

Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke Jakarta, biar dekat dengan anak-anak"."Ah, Allah lebih perkasa dibanding kalian. Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang." Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah.

Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat, saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

IBUMU
adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

Friday, December 08, 2006

I Have No Religion

"I have no religion". Kalimat itulah yang akan sering kita dengar manakala kita menanyakan agama yang dipeluk oleh generasi muda Taiwan. Sebagai orang yang dibesarkan di negeri "agamis" seperti Indonesia, kita tentu kaget mendengar jawaban seperti itu. Menurut sumber resmi, penduduk Taiwan memeluk agama Budha, Tao, Kong Hu Cu, serta Kristen. Akan tetapi, meski mereka mengaku sesekali melakukan bai bai di temple namun itu dilakukan lebih karena tradisi. Kebanyakan temple di Taiwan juga bukan kuil khusus agama tertentu. Di dalamnya tidak hanya ditemui patung dewa-dewi, namun juga patung Budha.

Agama Islam, bagi kebanyakan penduduk Taiwan, masih dianggap asing. Berulang kali, dalam berbagai kesempatan, kawan-kawan yang mengenakan jilbab menjadi perhatian. Mereka menanyakan apa yang dikenakan, mengapa mengenakan seperti itu, dan sejenisnya. Pertanyaan lain yang acap muncul adalah tentang sholat, mengapa harus menghadap kiblat, bacaan, serta gerakan. Kewajiban sholat lima kali dalam sehari tampak merupakan hal yang luar biasa bagi mereka. Masalah lain adalah jihad, yang sering dipersepsikan boleh membunuh siapa saja yang tidak seagama. Propaganda Amerika Serikat tentang citra Islam sebagai teroris, tampaknya banyak mempengaruhi persepsi mereka. Dan, tentu saja, yang paling menarik adalah poligami. Informasi yang dipahami secara salah selama ini adalah setiap pria dapat menikahi wanita sebanyak mereka suka. Biasanya, aku memberi penjelasan bahwa poligami lebih merupakan sebuah emergency exit, misalnya bagi mereka yang telah menikah lama namun belum dikaruniai keturunan, dan bukan semacam pintu yang selalu terbuka.

Mencari tempat sholat yang layak tentu saja juga tidak mudah. Ada beberapa kawan yang bahkan sering harus pulang ke dormitory hanya untuk sholat, kemudian kembali lagi ke kampus. Untunglah di College of Management ada gudang kecil di research room yang bisa disulap menjadi musholla, meski harus rela sholat bersama sapu, pel, dan kawan-kawannya. Masalah muncul bila kita bepergian. Dalam kesempatan wisata ke Jiji, Nantou bersama Chinese Language Center belum lama berselang, sebagian melaksanakan sholat di tempat parkir, sementara ada pula yang harus melakukannya di antara bis yang sedang parkir. Tentu saja, menjadi tontonan banyak orang.....

Friday, December 01, 2006

Tiga Wanita Haus Kasih Sayang

Oleh Sari S. Karim

Say, jenuh banget gak ada kamu di rumah. Akan terhibur kalau melihat polah tingkah anak-anak yang luar biasa lucu dan menggemaskan. HH yang kalau bicara nyerocos tidak ada titik dan koma... MM yang kalau kesal atau marah bahasa planetnya keluar. Tapi ya tetap saja tidak lengkap rasanya kalau tidak ada kamu. Yang suka tiba-tiba bernyanyi gak karuan, nada dan suaranya..... "Aku pulang... dari rantau.. bertahun-tahun di negeri orang... oh Malaysia...".

Say, hatiku sepi... tak terasa sudah mau 3 bulan... rasanya lamaaaaa sekali. Tak salah jika HH suka uring-uringan jika sedang merindukanmu. HH khawatir sekali sama kamu, yang apa-apa harus dikerjakan sendiri. HH bilang kan kasihan Bapak, kalau tidur juga mau dipeluk sama Kakak...

Pernah suatu ketika aku melintas kebun karet Jabaru, ingatkan.... seminggu sebelum kamu pergi... kita berempat main-main di sana. Olah raga, senam (MM senam angkat kaki...), lomba lari sampai HH pipis dipinggir got karena tidak kuat tahan pipis... Tiba-tiba saja air mataku menetes... betapa aku merindukan saat-saat seperti itu... Tamasya murah meriah ala kita, tidak perlu keluar uang yang penting happy!.

Paling pedih jika HH bicara mengapa dia tidak diajak Bapak ke Taiwan? Mengapa bapaknya tidak segera pulang... melihat betapa giatnya dia menabung untuk membeli tiket pesawat untuk bapaknya... Dasar anak-anak, dia pun merasakan rindu yang tak tertahankan...

Melihat keceriaan MM main sama Alvin dan para lelaki yang ada di Cikaret... begitu manja... kesana kemari diikuti, bergelayutan di pundak. Jika tidak ada, dia selalu mencari... ke rumah uyut atau nini Eli. Saat hujan pun dia minta Nur untuk menyusul sambil meminta dibawakan payung! Terlihat dia mencari figur bapak... yang untuk sementara dia peroleh dari para lelaki tersebut... Aku sendiri pun sering membayangkan seandainya MM yang bergelayutan manja di pundakmu... tertawa lebar.

Saat mau tidur pun yang diserbu selalu aku... yang minta dikipas-kipas, digaruk-garuk badannya, yang minta dibacakan buku cerita... seandainya ada kamu, tugas itu bisa kita bagi berdua... tidak selalu rebutan.

Untuk saat ini semua itu hanya bisa bilang seandainya...

We miss u so much!

Monday, November 20, 2006

Menjala Ikan

Hari Minggu adalah saat melepas kepenatan. Sekitar pukul 10.00, Feri Adriyanto, Bode Haryanto, Samsul Anwar, dan aku berjalan kaki meninggalkan dorm menuju Stasiun Kereta Api Tainan. Pagi itu, kami berempat berencana pergi ke Sinshih (ada pula yang menuliskannya dengan Xin Shih), sekitar 11,4 km ke arah utara Tainan.

Untunglah ada Samsul, yang lumayan fasih berbahasa Mandarin. Kalau tidak, dapat dibayangkan kesulitan yang akan kami alami, karena hampir semua informasi dalam bahasa Mandarin. Termasuk, ketika tiba-tiba ada perintah untuk pindah peron, atau harus bolak-balik bertanya dan naik turun kereta hanya karena tak yakin telah naik kereta yang benar. Yang sedikit mengejutkan adalah ketika mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa Jawa. Ya, memang, biasanya hari Minggu juga dimanfaatkan oleh para TKI untuk melupakan sejenak rutinitas kerja yang mengkungkung.

Sesampai di Sinshih, kami kemudian dijemput seorang TKI bernama Kaul (ia biasa dipanggil demikian, entah siapa nama sebenarnya. Ada yang mengatakan dulu namanya Dedy, tetapi sekarang namanya berubah Sonny.) dan berjalan sekitar lima belas menit menuju sebuah sungai. Di bawah kolong jembatan, kami melihat beberapa TKI tengah sibuk menjala ikan. Kata mereka, entah mengapa, ikan-ikan tersebut hanya mau dijala, tidak pernah mau dipancing. Meski penuh ikan, sungai tersebut tak pernah menarik minat orang Taiwan (atau barangkali karena mereka belum tahu, ya?). Jadilah, para TKI dan pekerja Thailand yang banyak memanfaatkannya di hari libur. Sambil membersihkan ikan-ikan hasil tangkapan, kami berbicara ngalor ngidul di pinggir sungai.

Dengan menenteng ikan hasil tangkapan, kami berjalan meninggalkan sungai menuju pabrik tempat para TKI bekerja. Di tempat parkir, telah berkumpul sekitar sepuluh TKI, termasuk mereka yang datang dari pabrik lain. Setelah menunggu sejenak, kami pun menyantap makan siang bersama dengan ikan bakar hasil tangkapan dan bumbu kacang karya mereka sendiri. Berbotol-botol Taiwan Beer pun mereka habiskan sembari bercerita tentang kehidupan mereka. Banyak di antara mereka yang telah bekerja selama 7 tahun di Taiwan. Mereka juga berkeluh kesah tentang pungutan oleh PJTKI yang bisa mencapai Rp 20 juta hingga Rp 26 juta. Itu bisa berarti pendapatan bersih yang mereka terima setelah bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang selama enam bulan. Teganya...............!!!!!

Sunday, November 05, 2006

Presidents' Forum

Dikunjungi orang tua kala di rantau, tentulah senang rasanya. Begitu pula yang dirasakan para mahasiswa Indonesia di Tainan, ketika beberapa rektor perguruan tinggi Indonesia mengikuti Presidents' Forum of Southeast Asia and Taiwan Universities (SATU) yang diselenggarakan di Kampus NCKU.

Seusai welcome dinner, para rektor dari UI (beserta nyonya), ITB, IPB, Unair (beserta nyonya), Undip, dan Trisakti (wakil rektor Unpad tidak ikut serta) mentraktir tiga belas mahasiswa Indonesia di teras lantai dua sebuah warung makan, sambil menikmati udara malam Tainan yang cerah. Sambil menunggu pesanan datang, seluruh yang hadir, termasuk para rektor, satu persatu berdiri memperkenalkan diri. Suasana menjadi rileks kala para petinggi universitas-universitas terkemuka tersebut ternyata melakukannya dengan amat santai dan penuh humor.
Kami yang memang sedang menghadapi banyak kesulitan, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengadu kepada para orang tua kami tersebut. Secara bergantian kami mengeluhkan persoalan bahasa mandarin yang digunakan secara ekstensif dalam perkuliahan dan kehidupan akademis, beasiswa yang hingga kini belum turun, serta keharusan bekerja untuk memperoleh beasiswa tersebut. Meski berjanji untuk melakukan segala yang mungkin untuk membantu, dengan kompak mereka menyampaikan bahwa apa yang kami "derita" adalah hal yang biasa, bahkan lebih baik dibandingkan dengan yang mereka alami masa dulu. Berulangkali, diseling dengan canda dan baca puisi, mereka mendorong kami untuk lebih bersemangat menghadapi keadaan.

Yang mengagetkan adalah ketika Rektor IPB Prof. A. A. Mattjik mengatakan bahwa kalau sudah lulus, sebaiknya tidak langsung pulang ke Indonesia, namun satu atau dua tahun bekerja dahulu di Taiwan untuk menambah pengalaman. Benar nih, Pak? Dengan resmi diizinkan untuk tidak segera kembali, nih?

Thursday, November 02, 2006

Halal bi Halal

Oleh Qaris Tajudin*)

Dalam beberapa hari ini, ada dua frasa yang sering Anda dengar: minal aidin wal faizin dan halal bi halal. Frasa pertama akan ratusan kali kita dengar ketika bertemu handai taulan pada saat Lebaran atau beberapa hari setelahnya. Sambil tersenyum mereka akan mengulurkan tangan dan mengucapkan: Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Penggalan yang sama akan Anda lihat di iklan dan juga memenuhi kotak pesan pendek telepon seluler.

Kira-kira sepekan setelah Lebaran, ketika kita sudah kembali dari mudik yang melelahkan, akan banyak undangan mampir ke meja kita dan juga melalui surat elektronik. Undangan halal bi halal. Frasa ini merujuk pada acara kumpul-kumpul yang khusus dilaksanakan setelah Lebaran. Kedua frasa itu jelas berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik Islam maupun Kristen. Meski demikian, keduanya tidak dikenal dalam budaya Arab.

Saat Lebaran, orang Arab biasa bertahniah dengan: Kullu aam wa antum bikhair, yang berarti semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik. Kalimat yang sama mereka ucapkan untuk menyambut tahun baru, Islam maupun Masehi. Mereka yang lebih beragama akan mengucap:Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Tuhan menerima amal kami dan Anda).

Selain tidak dikenal dalam budaya Arab, halal bi halal dan minal aidin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Justru kita akan kesulitan saat mencoba memahami artinya dalam bahasa Arab. Minal aidin wal faizin terjemahannya adalah: dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Ini tentu bukan kalimat sempurna. Entah dipenggal dari kalimat apa. Kalau mau menebak-nebak, mungkin yang dimaksud adalah: Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalanTuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).

Yang lebih pelik adalah memahami asal-muasal halal bi halal. Sampai kuping berdenging pun kita akan susah mengerti kenapa frasa yang berarti halal dengan halal itu kemudian kita pakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Apakah karena dalam pertemuan itu kita dihalalkan makan pada siang hari, sesuatu yang haram dikerjakan saat Ramadan. Tapi apa bedanya kalau pertemuannya pada malam hari?

Selain kedua frasa itu, banyak istilah agama dari bahasa Arab yang tidak hanya membingungkan, tapi bahkan salah. Penggunaan kata muhrim, misalnya. Banyak orang, bahkan para ulama, mengartikan muhrim sebagai anggota keluarga yang dilarang untuk dinikahi (ibu/bapak,saudara/saudari, paman/bibi, dll). Seorang pria tidak boleh berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, demikian kata seorang ustaz dalam ceramah Ramadannya di televisi.

Ini jelas salah kaprah. Muhrim sebenarnya berarti orang yang berihram.Orang yang berhaji disebut muhrim (mengharamkan) , karena mereka mengharamkan dirinya melakukan pekerjaan yang sesungguhnya halal, seperti memakai wewangian dan bersetubuh dengan istri.

Sedangkan istilah untuk anggota keluarga yang haram dinikahi adalah mahram (orang yang diharamkan). Kesalahan terjadi karena muhrim dan mahram dalam bahasa Arab ditulis dengan tulisan yang sama (mim-ha-ra- mim).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesalahan juga terjadi. Selain mengartikan muhrim sebagai orang yang berihram, Kamus itu juga menyamakan muhrim dengan mahram. Kesalahan lain yang agak ringan adalah memakai kata jamak untuk benda tunggal. Misalnya: Ceramah itu disampaikan oleh seorang ulama terkenal. Ulama adalah bentukan jamak dari alim, yaitu orang yang berpengetahuan. Shalat, zakat, niat, sesungguhnya juga bentukan jamak dari shalah, zakah, dan niah. Namun ada yang mengatakan, ini terjadi bukan karena kita mengambil kata-kata itu dari Arab, melainkan dari Persia. Wallahu alam.

*) Wartawan Tempo

Wednesday, October 25, 2006

Lebaran Tanpa Ketupat


Tepat pukul 09.00. Kukayuh sepeda meninggalkan halaman dorm. Kususuri jalanan Tainan yang mulai menggeliat. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan bila harus dilalui sendirian. Dua puluh tujuh menit kemudian, aku baru tiba di Masjid Tainan. Ya, hari itu, Selasa, aku akan mengikuti Shalat Idul Fitri. Samsul, Hensi, dan Hesti memilih shalat di Kaohsiung, sementara teman mahasiswa lain harus mengikuti kegiatan perkuliahan di Kampus (sungguh malang nasib di negeri orang, harus kuliah saat lebaran).

Sekitar lima belas menit aku bercengkerama dengan Mungki, istrinya, dan para TKI di lantai 2, sebelum kemudian naik ke lantai tiga untuk takbiran. Waktu menunjukkan pukul 10.00, namun belum ada tanda-tanda shalat akan dimulai. Ketika waktu menunjukkan pukul 10.30, suara sudah terasa serak, karena telah bertakbir selama sekitar 45 menit, namun belum ada tanda-tanda shalat Id akan segera dimulai. Jamaah telah berkumpul sekitar 40 orang, sebagian besar adalah para TKI dari wilayah sekitar Tainan (sebagian dari mereka baru selesai bekerja pukul 08.00, sebagian lagi harus kembali kerja pukul 13.00).

Pukul 10.40, shalat didirikan. Tidak seperti kebiasaan di Indonesia, di Taiwan, setelah takbiratul Ihram diikuti dengan 3 kali takbir. Sementara, pada rakaat kedua, setelah imam membaca Al-Fatihah dan surah, kemudian takbir lagi 3 kali, baru ruku'. Selesai shalat, imam naik mimbar dan membaca khotbah yang berlangsung selama 20 menit dalam bahasa Arab dan Mandarin. Seusai shalat, kami bersalam-salaman, kemudian menikmati santap lebaran ala Taiwan di lantai 2. Tentu saja, tak ada ketupat di sana.

Sehari sebelumnya, sesungguhnya kami telah tidak berpuasa. Namun, mengingat jauhnya perjalanan, sementara tetap ada kelas yang harus diikuti, kami tidak pergi ke Taipei atau Taichung yang menyelenggarakan shalat Idul Fitri di hari itu. Di dorm, kami merayakan lebaran dengan saling bermaafan dan menyantap beragam masakan dan kue yang disiapkan oleh Mr Feri, Samsul,Hensi, Hesti, dan tentu saja sang komandan, Netti Tinaprilla. Selain para mahasiswa asal Indonesia, turut bergabung Mohammed Tahiri dari Maroko, dan Edu Bringas dari Peru. Suasana yang penuh suka cita, sedikit mengobati kerinduan pada keluarga di tanah air.

Wednesday, October 18, 2006

Seandainya Cuma Ada Ramadhan

Oleh: Dumilah Ayuningtyas

Namaku Hamdhan,
Sebelas umurku
Cari aku di kolong jembatan layang di malam hari
Aku suka Ramadhan
Bulan puasa itu
Bebaskan aku dari puasa tak menentu
Terpaksa tak makan karena memang tak ada yang bisa disantap
Tinggal datang ke masjid mushola
Ada makanan enak menanti
Ta'jil katanya, pembuka puasa

Aku Tono
Aku suka Ramadhan
Karena majikannku berpuasa dari mengomel
memukuliku
Jika aku salah atau lambat kerja
Padahal aku kan sering capek dan juga ingin bermain di sembilan tahunku

Ramadhan ?
Aku suka itu
Pundi-pundi berisi penuh
Tak Cuma koin receh
Tapi juga uang kertas
Yang mereka lemparkan dari balik kaca mobil mewah
Saat ku sodorkan di lampu merah
Bulan puasa itu membuat tiba-tiba banyak orang baik & bersedekah ya..?
Jadi ibuku bilang : ” Amir, ada sisa untuk ditabung, mudah-mudahan kamu bisa sekolah lagi .. ”

Suka, aku suka sekali
Ramadhan itu kan
Bulan yang orang-orang jadi selalu makan enak untuk berbuka & sahur
Supaya tak terasa lemas & lapar
mereka bilang
Jadi harus ada kolak, es campur, kue-kue, makanan daging
Aku Anwar, si pengangkut keranjang belanja di pasar-pasar
Senang, berbilang kali mondarmandir
mengangkut tumpukan belanja ibu-ibu
"Sstt, jangan bilang guru ngaji bahwa aku jadi sering batal
tak kuat puasa karenanya..”
Bapakku ndak marah kok, aku kan masih kecil, belum baligh
Asal ada uang yang bisa dibawa pulang
Kasihan Bapakku lumpuh
Tak bisa cari uang sesudah kecelakaan di pabrik dulu

Kalau ingin ganti baju
Supaya tak tambal-tambal
Atau penuh lubang
Ya harus tunggu bulan setahun sekali
Bulan apa ya..
Pokoknya yang ada lebarannya itu..
Orang-orang kaya ganti baju
mungkin terlalu sesak almarinya
Jadi aku dapat sisa
Tapi masih bagus bagus kok
Aku jadi bisa pakai berlapis
Tak terlalu dingin lagi di gubuk kecil terbuat dari kardus-kardus
Benar emak menasehati : ..” Sabar nduk, gusti Allah ora sare..”
Menenangkan rengekanku minta baju
Karena malu diejek
Ujang si gembel bajunya tembel

Kalau ingin sekali-sekali merasakan
Gantian
Orang berpunya mengejar si papa
Mereka yang berada
mengejar pengemis gelandangan ( kadang menyingkat memanggil kami Gepeng...)
Mencari agar ada penerima zakat
Besok lebaran menjelang
Akan batal zakat fitrah sesudah sholat
Ikut saja bersamaku di malam takbiran
Tenang-tenang tiduran di emperan pinggiran jalan
Tergopoh-gopoh mereka datang
Membangunkan kami untuk terima zakat
Lucu, kali ini si empunya butuh orang miskin ..
Ada benarnya juga namaku si Untung...
kecil-kecil sudah beruntung...

Aku tahu bapakku miskin sekali
Sebagai kuli
Penghasilannya Cuma dari angkut barang
Tapi ia tak bolehkan, aku Mamat anaknya, mengemis
Jadi menemani bapak
Mengambilkan minum & sesekali pijati punggungnya
Karena di Ramadhan ia banyak sekali angkut
mebel juga kulkas, tivi baru
Nanti kalau ada ceramah di kampung aku mau tanya pak kyai
Apa bulan puasa artinya ganti perabotan ya..?

Ustadz Husni pernah bilang
Tuhan itu bisa berbuat apa saja
Maha Kuasa
Tuhan juga Pemurah
mau mendengarkan doa dari siapa saja
Termasuk anak jalanan miskin terlantar
Ya Allah,
Hamdan, Amir, Tono, Anwar, Untung, Ujang, Mamat
Doa bersama
Mengemis padaMu
Jadikan Cuma ada Ramadhan
Sepanjang tahun..
..amin..

Depok 9 September 2006

Tuesday, October 10, 2006

Berita Duka Menjelang Sahur

Waktu baru menunjukkan pukul 2.35 pagi, ketika pintu kamarku diketok. Padahal, aku baru terlelap tidak lebih dari 15 menit. "Anaknya Mas Ely meninggal dunia," ujar Mas Samsul di depan pintu, membuat mataku yang masih mengantuk langsung terbelalak.

Subuh itu, hampir semua mahasiswa asal Indonesia berkumpul di kamar 209, markas Mas Feri dan Mas Samsul. Sebagian menenangkan Mas Ely yang tampak sangat berduka, sebagian mencari kepastian berita dari Surabaya, sebagian yang lain mencari info jadwal keberangkatan pesawat ke Indonesia.

Seusai sholat shubuh, kami berjalan bersama ke pintu gerbang dorm, menuju mobil Jonas, mahasiswa IMBA asal Taiwan, yang berbaik hati mau mengantar ke Bandara Kaohsiung. Perjalanan ke Kaohsiung lebih diisi dengan percakapan mengenai kemungkinan penyakit yang diderita anak Mas Ely, yang baru berusia 1,5 tahun. Masalah muncul setiba di Bandara Kaohsiung. Tiket return yang dimiliki Mas Ely, ternyata tidak dapat langsung digunakan hari itu. Sedangkan harga tiket baru mencapai NT$ 25,000 untuk one way, sementara dalam kondisi normal, tiket bolak-balik bisa diperoleh di travel agent dengan harga hanya NT$ 10,800.

Kami berlima, Jonas, Mas Ely, Mas Feri, Mas Samsul, dan aku pun kemudian kembali ke Tainan. Namun, semua biro perjalanan ternyata masih tutup karena liburan mid-autum festival. Untungnya, seorang kenalan Jonas yang memiliki sebuah biro perjalanan mau datang ke kantornya untuk membereskan permasalahan tiket. Ternyata seluruh seat telah habis untuk semua perjalanan ke Indonesia di hari tersebut. Akhirnya, Mas Ely pun hanya bisa pasrah untuk berangkat esok sore harinya. Innalillahi wa inna Ilaihi rojiun.

Friday, October 06, 2006

Mid-Autumn Festival

Sahur pagi ini suasananya berbeda. Biasanya sahur dilalui dengan canda enam peserta tetap, Netti, Feri, Ely, Budi, Samsul, dan aku, di tengah keheningan, karena mahasiswa lain tengah terlelap tidur. Kali ini dipenuhi suara riuh rendah para mahasiswa di pelataran dorm. Taiwan hari ini memang sedang merayakan libur nasional Mid-Autumn Festival, yang merupakan hari libur penting selain tahun baru Cina.

Mid-Autumn Festival biasanya jatuh pada hari kelima belas pada bulan kedelapan penanggalan Cina. Pada saat tersebut para petani merayakan berakhirnya masa panen musim panas. Secara tradisional, anggota keluarga Cina serta teman-temannya berkumpul, mengagumi bulan-purnama yang bersinar terang, sambil menikmati mooncakes dan buah pomelo bersama-sama. Mereka menyediakan barbecue di luar rumah, menyalakan kembang api dan petasan. Siang harinya, beragam kelompok menyelenggarakan arak-arakan yang memacetkan jalan, dengan tabuhan beragam alat musik tradisional.

Bagi mahasiswa internasional, Mid-Autum Festival tidak banyak bermakna, kecuali bahwa kami mendapatkan libur hingga lima hari. Sebagian memanfaatkannya dengan pergi keluar kota, sebagian yang lain meramaikan langit tainan dengan kembang api dan petasan di pelataran dorm. Sementara sisanya tetap harus memanfaatkan masa liburan dengan menyelesaikan tugas kuliah yang bertumpuk. Yang agak sedikit menggembirakan, Universitas membagikan gratis satu kotak mooncakes kepada setiap mahasiswa internasional. Lumayan..................................

Wednesday, October 04, 2006

Chinese Name

Punya nama yang diberikan oleh orang tua kita, ternyata tidaklah cukup untuk hidup di negeri Cina. Amat sering, meski kita telah menuliskan atau menyebutkan nama kita, masih juga ditanyakan nama Cina kita. Chinese name. Nama kita, yang dilafalkan dalam aksara mandarin. Atau nama asli cina mereka, sebelum berganti dengan nama, yang di Taiwan sering diistilahkan dengan "English name". Bahkan sebelum datang pun, dalam formulir permohonan visa, dalam debarkation card, chinese name ini telah ditanyakan.

Ketika beberapa hari tiba di Taiwan, beberapa kawan yang telah tinggal lama di Tainan menyarankan untuk membuat stempel nama, di sebuah toko dekat dorm. Dengan biaya NT$ 50, didapatlah sebuah stempel kecil nama kita dalam aksara mandarin, yakni 艾莉. Bagiku, ini sebuah stempel ajaib. Pembuatan ARC, pembukaan rekening tabungan di kantor pos, hingga urusan akademik, semua menjadi lebih mudah dengan stempel ajaib tersebut. Semacam persetujuan dengan derajat tinggi.

Tibalah kemudian saat harus membayar ini itu. Formulir distempel nama, dan beres. Kemudian, kartu mahasiswa pun langsung didapat. Dengan kartu mahasiswa ini, seluruh pelayanan Universitas menjadi terbuka. Seluruh informasi pribadi pada kartu mahasiswa ditulis dalam aksara mandarin. Termasuk nama. Menariknya, ternyata namaku ditulis dengan aksara 阿里yang berbeda dengan stempel nama. Ternyata, aksara yang digunakan, akan sangat tergantung intonasi kita saat mengucapkannya. Ketika kutunjukkan perbedaan itu pada Professor Shiu Yung-Ming, dia menyarankan untuk menggunakan nama yang di kartu mahasiswa, karena nama di stempel lebih mirip nama perempuan. Stacy Lin, staf pada Office for International Affairs, malah tertawa terbahak. Nama yang ditulis pada stempel, katanya, "Sounds like a ghost name." Waaaaaaaaaaaaaaaa???

Tuesday, October 03, 2006

Birokrasi Yang Melayani

"Dear brothers and sisters. Please come and join us to break your fast at 5:45 pm on 2nd floor of our dorm. Badri & Dita." Begitu bunyi sms yang kuterima siang itu. Sebuah undangan berbuka puasa untuk mensyukuri kembalinya skuter yang telah sekitar seminggu dicuri orang. Berita penemuan kembali itu disampaikan oleh polisi. Mr Badri, mahasiswa PhD NCKU, langsung dapat mengambil kembali skuternya hanya dengan membayar NT$ 550 sebagai biaya angkut.

Berurusan dengan birokrasi di Taiwan adalah pengalaman tentang efisiensi. Seorang teman yang di pagi hari membeli skuter bekas, membayar biaya balik nama NT$ 1000, di sore hari telah menerima STNK/BPKB yang telah berganti namanya. Ketika mengurus Alien Resident Certificate (ARC), kita hanya perlu datang ke kantor polisi terdekat, mengisi formulir, membayar NT$ 1000, dan kartu pun akan kita terima tiga hari kemudian. Pengalaman ini amat berbeda dengan di Indonesia.

Salah satu persyaratan registrasi adalah ijazah yang dilegalisasi oleh Perwakilan Taiwan di negeri kita. Untuk itu, pertama, kita harus datang ke kantor notaris, yang akan menyatakan kesesuaian fotokopi ijazah dengan aslinya. Uang. Kemudian harus datang ke Departemen Hukum dan HAM, untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan notaris. Uang lagi. Setelah itu harus datang ke Departemen Luar Negeri, untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan pejabat Departemen Hukum dan HAM. Uang lagi. Setelah itu baru datang ke Taipei Economic and Trade Office (TETO) untuk mendapatkan legalisasi kebenaran tanda tangan pejabat Departemen Luar Negeri. Bayangkan, begitu banyak kantor harus didatangi untuk hanya saling mengesahkan kebenaran tandatangan, yang membutuhkan waktu proses lebih dari dua minggu. Untung saya tinggal dekat Jakarta. Bagaimana dengan mereka yang bertempat tinggal di Maluku atau Papua, misalnya. Yang luar biasa, keabsahan tanda tangan pejabat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, harus disahkan oleh pejabat Kantor Perwakilan negara lain!

Wednesday, September 27, 2006

Teaching Assistant

Sebagai persyaratan penerimaan beasiswa, aku harus menjadi teaching assistant. Sebetulnya aku agak enggan menerima penugasan ini, karena kewajiban ini tidak disebutkan dalam brosur dan letter of acceptance yang dikirim NCKU. Tapi aku mencoba mengambil hikmahnya. Dengan demikian aku berkesempatan belajar proses belajar mengajar dari sebuah universitas dengan tradisi akademik yang tinggi (Menurut ranking perguruan tinggi terbaik di kawasan Asia dan Australia yang dikeluarkan Asiaweek, NCKU berada di urutan 16, sementara UI terdampar di posisi 61, sedang UGM di urutan 68).

Aku ditugaskan menjadi teaching assistant Prof. Shiu Yung-Ming untuk mata kuliah Risk Management. Semula aku tidak mengambil mata kuliah ini. Tapi, daripada harus nongkrong bengong di kelas, akhirnya aku batalkan satu mata kuliah lainnya, dan kuganti dengan Risk Management, yang memang dirancang untuk disampaikan dalam bahasa Inggris.

Dua jam yang lalu kutemui Prof. Shiu, setelah berjuang beberapa lama mencari tulisan nama di pintu ruang kerja dalam aksara mandarin yang sesuai dengan contekan yang kubawa. Orangnya masih muda dan amat ramah. Kami berdiskusi cukup lama tentang tugas-tugas yang akan dikerjakan dalam kelas nantinya. Tugas pertama darinya adalah melakukan modifikasi bahan ajar berdasarkan textbooks, serta aku harus presentasi urutan pertama. Wah, beban juga nih.............

Monday, September 25, 2006

Puasa Pertama

Dengan bersepeda, selama lima belas menit kami berempat menembus kota, menuju Masjid Tainan. Setiba di sana, telah menunggu beberapa orang keturunan Timur Tengah. Beberapa saat kemudian, datang 6 orang TKI dari San Hwa. Pukul 20.40, tarawih dimulai, dengan Budi, mahasiswa MBA dari Indonesia, sebagai imam. Selesai sholat, 13 jamaah dari Indonesia bercengkerama di lantai dua, dengan menikmati jeruk khas Taiwan.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Waktu menunjukkan pukul 03.30. Saat sahur tiba. Beberapa mahasiswa masih terlihat menikmati tayangan TV. Kami menikmati santap sahur dengan sayur tauge, hati ayam, dan ayam goreng yang dipesan dari Warung Indonesia. Siaran radio internet Suara Surabaya yang mengiringi, membuat suasana sahur seperti di negeri sendiri.

Saat berbuka tiba. Dua bersaudara, Hensi dan Hesti datang dengan membawa kolak ubi. Wah, sebuah kejutan yang luar biasa. Meski kehidupan sekitar sama sekali tidak menunjukkan suasana Ramadhan seperti di tanah air, namun apa yang kami rasakan di hari pertama menambah semangat kami dalam menjalani hari-hari berikutnya di bulan Ramadhan.

Saturday, September 23, 2006

Kuliah Kelima

Aku melangkah dengan lunglai. Menurut course list, kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin. Ruangan telah penuh sesak saat aku masuk. Seorang mahasiswi senior masuk, ngomong beberapa saat, sebelum kemudian membagikan kertas dan pena kepada setiap mahasiswa di ruangan. Oh, rupanya dia sedang membagikan kuesioner, dan meminta para mahasiswa untuk membantu mengisinya. Ketika sampai padaku, kulihat seluruh kuesioner ditulis dalam aksara mandarin. "I cannot read chinese characters," kataku sambil mengembalikan kuesionernya. Ia tampak terkejut, dan bertanya asalku. Kala kujawab Indonesia, ia membalas hangat, "Welcome!"

Tak lama kemudian, masuklah sang profesor, berusia sekitar 60 tahun, berkacamata dan berkaos kerah warna pink. Seperti para pengajar yang lain, ia kemudian menjelaskan course outline, grading, textbooks dan sejenisnya. Tentu saja itu hanya perkiraanku saja, karena sang profesor menjelaskan seluruhnya dalam bahasa mandarin berkecepatan sangat tinggi.

Kala break, aku maju menemuinya. Seperti sebelumnya, kujelaskan dari mana asalku, serta kendala bahasa yang kumiliki. Dia tampak terkejut, dan bertanya, apakah aku mengerti yang tadi diterangkannya. Dengan mantap kujawab, "Not at all, Professor." Namun, dia tidak keberatan aku tetap di kelasnya. Dan kala kukeluhkan course grading yang 20% akan berasal dari class participation, dia menjawab ramah, "It's OK. Don't worry about it." Alhamdulillah.

Thursday, September 21, 2006

Kuliah Keempat

Aku melangkah dengan riang ke ruang 62453. Menurut course list, kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa Inggris. Ruangan sudah hampir penuh. Aku duduk di deretan dua, di belakang dua orang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Kaohsiung.

Seorang profesor, berusia sekitar 55 tahun, memasuki ruangan. Kemudian dia berbicara sekitar 3 menit dalam bahasa mandarin, sebelum kemudian bertanya, siapa yang tidak bisa bahasa mandarin. Hanya tiga orang yang mengangkat tangan. "Don't worry. You just sit, and you'll understand," katanya.

Bahasa mandarin dan bahasa Inggris kemudian digunakannya secara bergantian. Tapi, bagiku, cara itu sungguh melelahkan. Kadang aku tidak sadar bahwa ia telah berganti dari bahasa mandarin ke bahasa Inggris, sehingga harus terus menerus memperhatikannya. Lagipula, aku merasa bahwa ada beberapa bagian yang disampaikannya dalam bahasa mandarin tidak diterjemahkannya dalam bahasa Inggris. Jadi, bahkan yang di course list tersebut akan disampaikan dalam bahasa Inggris pun, pada kenyataannya bilingual. Apalagi, kemudian sang profesor mengubah jadwal pertemuan berikutnya dari Rabu pukul 14.00-17.00 menjadi hari Minggu, pukul 19.00-22.00. Alamaaaaaakk.............

Wednesday, September 20, 2006

Kuliah Ketiga

Dalam courses list, tertulis bahwa kuliah ini akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin. Aku berharap dapat mengulang "kesuksesan" dalam kuliah sebelumnya (lihat: kuliah kedua). Seorang profesor tua, berusia sekitar 60 tahun, memasuki ruangan. Seperti profesor yang lain, ia "hanya" berkaos kerah dan bercelana bahan jins.

Seperti pengalaman kuliah-kuliah sebelumnya, sang profesor terus ngomong dalam bahasa mandarin. Sejenak kemudian, entah karena apa, ia berhenti dan menanyakan kepada mahasiswa sebelahku tentang diriku. Kemudian aku pun memperkenalkan diri dan menyebutkan kendala bahasa yang kuhadapi. Kemudian ia meneruskan berbicara dalam bahasa mandarin, tidak tahu apakah menanggapiku ataukah membicarakan hal yang lain.

Hampir 2 jam berlalu, dan kuliah pun usai. Tidak sepatah kata Inggris pun yang diucapkan oleh sang profesor. Bahkan silabus pun ditulis dalam bahasa mandarin. Nasib........................

Tuesday, September 19, 2006

Kuliah Kedua

Aku berharap-harap cemas, akankah kuliah kedua sama dengan kuliah pertama, seluruhnya dalam bahasa mandarin? Kelas telah penuh. Kemudian, masuk seorang pria berusia sekitar 40-an tahun, berkaos kerah, menuju mimbar. Aku kaget. Kutanya Li (lihat: Kuliah Pertama), "Is he the Professor?" Ia menjawab, "Yes, he is Professor Chiang." Wow, sungguh, dari gayanya, semula kupikir ia seorang mahasiswa.

Ia pun kemudian nyerocos dengan cepat dalam bahasa mandarin. Entah kenapa, tiba-tiba ia berhenti berucap. Barangkali melihat wajahku yang berbeda dari yang lain, ataukah karena melihat ekspresi ketidakpahamanku, ia kemudian bertanya, masih dalam bahasa mandarin, sambil menunjuk kearahku. Meski tak paham pertanyaannya, kugunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa internasional yang tak paham bahasa mandarin.

Luar biasa, setelah mendengarkan penjelasanku, ia kemudian memutuskan mengubah penyampaian kuliahnya. Dengan bahasa Inggris yang lancar, dijelaskan kembali apa yang telah diterangkan sebelumnya. Duh senangnya. Apalagi ketika kemudian dia berkata, "I'm happy to have you in my class." Dan kemudian, sepanjang kuliah, bahasa mandarin dan bahasa Inggris digunakannya secara bergantian. Alhamdulillah................

Kuliah Pertama

Seminar 1 terjadwal di Ruang 62455. Ketika waktu menunjukkan pukul 15.00, ruangan masih kosong. Seorang mahasiswi Taiwan bermarga Li, kemudian memasuki ruangan. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, syukurlah, ia dapat menjadi teman bicara sambil menunggu kelas dimulai. Yang mengagetkan adalah, ia tidak mengenal ketika kujawab Indonesia sebagai negeri asalku. Setelah kucoba menjawab, "Wo shi Inni ren", baru ia mengangguk-angguk.

Tepat pukul 15.10, sesuai jadwal, seorang pria berkacamata, berwajah ramah, berusia sekitar 50 tahun memasuki ruangan. Penampilannya sungguh sederhana. Berbaju kaos berkerah warna merah bata dan celana berbahan jins warna khaki. Dialah sang profesor. Sebelum kuliah dimulai, kuperkenalkan diriku, dan kendala bahasa yang kumiliki. Sang profesor tampak terkejut. Mungkin inilah kali pertama ada mahasiswa internasional di kelasnya. Diterangkannya bahwa kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin, dan dosen-dosen tamu yang diundang pun akan berbicara dalam bahasa mandarin.

Terdapat sepuluh orang mahasiswa di kelas, dan aku adalah satu-satunya mahasiswa yang bukan orang Taiwan. Suasana kelas tampak hidup. Mereka berdiskusi dengan sangat ramai. Sayangnya, tak satu pun yang kupahami. Baik bahasa maupun tulisan di papan tulis, seluruhnya dalam bahasa mandarin. Waktu berjalan terasa sangat sangat lambat..............

Thursday, September 14, 2006

Sholat Jumat Pertama


Gedung bernomor 12 itu sama sekali tidak besar. Lebih mirip ruko empat lantai, dengan luas setiap lantai sekitar 40 meter persegi. Di atas pintunya terdapat tulisan dalam tiga bahasa, Arab, Cina, dan Inggris: Tainan Mosque. Perlahan-lahan kami menapaki tangga, menuju lantai dua. Di sebuah ruangan, telah duduk sebuah keluarga dengan bapak Pakistan, ibu Taiwan, dan dua anak lelaki mereka. Kami bercengkerama sejenak sambil minum air putih, sebelum kemudian baranjak kelantai tiga, tempat sholat jumat akan dilangsungkan.

Waktu menunjukkan pukul 13.00. Khotib, seorang Myanmar, naik mimbar. Adzan pun dikumandangkan. Jemaah terus berdatangan, hingga berjumlah duapuluh orang dewasa dan dua orang anak-anak. Sembilan di antaranya mahasiswa Indonesia. Khotib membacakan khotbahnya dalam bahasa Arab, kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan terjemahannya dalam bahasa Mandarin. Tidak ada kotak amal diedarkan. Dua puluh menit berlalu. Khotbah usai dan sholat pun didirikan.

Seusai sholat, kami kembali bercengkerama di lantai dua sambil minum air putih yang tersedia. Keluarga Pakistan-Taiwan itu mengundang kami, para mahasiswa Indonesia, untuk makan siang minggu berikutnya, sebagai syukuran rumah barunya. Dan sibuklah keluarga itu berdiskusi dengan para mahasiswi tentang rencana masakan serta sayuran dan bumbu yang diperlukan. Seorang teman bertanya kepada saya, "Saya perhatikan, Pak Ali amat serius memperhatikan khotbah tadi? Apakah faham bahasanya?" Saya menjawab, "Di Bogor, saya sering menghadiri sholat Jumat, yang disampaikan dalam bahasa Sunda. Jadi kalau tidak faham isi khotbah, itu mah biasaaaaaaaa."

Satu Minggu Pertama

Alhamdulillah, satu minggu pertama di negeri orang berjalan lancar. Ada banyak kawan yang berbaik hati membantu mengerjakan ini itu dan mengantar kesana kemari. Terima kasih Mas Feri, Mas Samsul, Mas Mungki, Mas Ely, Mbak Hensi, Mbak Hesti, dan Mbak Anna (Semoga Allah membalas kebaikan mereka). Saat ini sedang summer, dengan suhu udara yang tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kota di Indonesia. Apalagi hujan sering datang, sehingga panas menjadi tidak begitu terasa.

Dua masalah utama yang saya hadapi adalah bahasa dan makanan. Selama berada di lingkungan kampus, bahasa tidak (setidaknya, belum) menjadi masalah. Dalam setiap bagian, biasanya ada satu petugas atau staf mahasiswa yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi, begitu keluar kampus, bahasa tarzan pun acap menjadi penolong. Atau, paling tidak, kita bisa mencontoh pengalaman seorang teman saya dari Yogyakarta. Berbekal contekan dari kamus elektronik, datanglah ia ke sebuah toko untuk memprotes barang yang dibelinya sehari sebelumnya, yang dipikirnya tak sesuai spesifikasi. Dengan terbata-bata dan pronunciation yang entah benar atau tidak, dibacakanlah contekan itu, yang kemudian mengundang gelak tawa orang-orang yang mendengarnya. Untunglah, seorang lelaki kemudian keluar dan berbicara dalam bahasa Inggris, dan selamatlah teman saya itu.

Masalah makanan lebih parah lagi. Orang-orang di sini terbiasa makan babi seperti orang Indonesia terbiasa makan ayam. Cilakanya, amat mungkin, meski kita pesan ikan, tetapi digoreng dengan wajan bekas goreng babi. Atau, bila kita pesan ayam, mungkin sekali ayamnya tidak disembelih dengan mengucap asma Allah. Wah serba susah deh! (kecuali kalau Anda sepakat dengan mazhab seorang teman saya, "Ah, babi di Taiwan sudah muslim kok.") Jadinya, yang paling nyaman dan aman, makan sayuran. Sayangnya, mungkin karena lahan pertanian yang terbatas, sayuran (dan buah-buahan) amatlah mahal di sini. Saya sering membayangkan, alangkah enaknya bila ada semacam halal food hall di sini. Dengan semakin meningkatnya komunitas muslim, saya pikir itu akan bisa menjadi peluang bisnis yang menarik.

Monday, July 24, 2006

Menuntut Ilmu ke Negeri Cina

Akhirnya kesempatan itu datang jua. Saya memperoleh beasiswa untuk mengikuti pendidikan program doktor di National Cheng Kung University, Taiwan, Republic of China. Ada perasaan yang bercampur menerima berita ini. Gembira, pasti. Namun, dengan berbagai pertimbangan, tampaknya istri dan anak-anak akan menyusul kemudian. Berat rasanya membayangkan akan melalui hari-hari penuh perjuangan di negeri orang tanpa gelak tawa menggoda mereka di sisi kita.