Menurutku, ada tiga kriteria yang seharusnya dimiliki oleh setiap caleg, yakni integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Integritas bermakna mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Mirip dengan pengertian kejujuran. Selama lima tahun masa bakti anggota DPR RI 2004-2009, kita membaca begitu banyak anggota legislatif yang terjerat beragam kasus, dari soal penyuapan, korupsi, wanita, penyalahgunaan wewenang, mangkir dari tugas, serta beragam tindakan tercela lainnya.
Kriteria kedua adalah kapabilitas, yakni kemampuan atau kecakapan dalam melaksanakan tugas. Dalam kurun lima tahun menjabat, banyak sekali anggota DPR yang tidak pernah terdengar kiprahnya, baik di ruangan maupun saat kunjungan kerja. Besar kemungkinan, mereka termasuk golongan yang sebenarnya sama sekali tak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota legislatif. Banyak kesaksian yang menggambarkan bagaimana anggota DPR, yang barangkali ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya duduk dan tidur di ruangan, memutuskan untuk mengajukan pertanyaan dalam Rapat Kerja maupun Rapat Dengar Pendapat. Tetapi, ampuuuuuuuuunnn, pertanyaan yang diajukan itu seringkali tidak hanya sekedar tidak bermutu, namun yang lebih buruk lagi adalah pertanyaan yang diajukan "salah" dan kemudian menunjukkan kapasitas asli dirinya.
Seorang kolega pernah menceritakan pengalamannya saat berdiskusi tentang efek rumah kaca dengan para anggota DPR. Saat tiba sesi tanya jawab, seorang anggota DPR dengan gaya yakin bertanya, "Sekarang banyak gedung didirikan yang seluruhnya menggunakan kaca. Kaca-kaca ini, menurut saya adalah sumber efek rumah kaca yang harus diperhitungkan." Dan sang kolega pun hanya mampu tercenung tak percaya. Saya percaya, daftar semacam yang menunjukkan rendahnya rata-rata kapabilitas para anggota DPR akan dapat dibuat sangat panjang...
Syarat ketiga adalah akseptabilitas, yakni seberapa tinggi tingkat keberterimaan calon di masyarakat. Dari 560 anggota DPR 2004-2009, hanya ada dua orang yang perolehan suaranya melewati bilangan pembagi pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruhnya melenggang ke Senayan meski memperoleh dukungan yang amat minim.
Saya masih ingat saat pemungutan suara seperti hari ini, lima tahun lampau, di Rawamangun, Jakarta Timur, tempat kami tinggal saat itu. Tiga orang wanita, istriku dan dua orang asisten di rumah, menunggu "fatwa" dariku tentang calon anggota legislatif (caleg) yang harus dipilih. Kami pun bersepakat untuk memilih Drajad Hari Wibowo, caleg nomor urut 1 dari Partai Amanat Nasional.
Pilihan terhadap Drajad bukanlah asal-asalan, melainkan telah melalui proses penelitian yang saksama berlandaskan ketiga kriteria di atas. Alhamdulillah, hingga sekarang ia tidak saja tetap menunjukkan kinerja yang cemerlang, namun juga tidak pernah tersangkut dalam aktivitas yang mencemarkan nama diri. Sayang, tampaknya karena ketidakmampuannya bertahan di tengah lingkungan DPR yang dirasa telah tercemar, ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi pada periode 2009-2014 ini.
Meski tidak mudah menemukan caleg dengan kualifikasi seperti Drajad Hari Wibowo, sebenarnya aku masih berniat menggunakan hak pilih. Melalui pendaftaran pemilih online yang ada di website KDEI, kudaftarkan namaku, kemudian ada konfirmasi: "Nama Anda telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara." Amanlah, pikirku. Namun, hingga Daftar Pemilih Tetap (Tambahan) disahkan pun, namaku tetap tak tercantum. Jadilah, kali ini aku (terpaksa harus) golput.