Friday, December 25, 2009

Kala Nonkristiani Merayakan Natal

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan

pohon natal besar di sebuah pusat perbelanjaan di Tainan City

Tak pelak lagi, Natal adalah perayaan paling semarak dalam kalender umat Kristiani sejagat. Pemeluk Kristen yang jarang mengunjungi gereja pun biasanya tak melewatkan kesempatan merayakan hari raya yang sebagian umat meyakini jatuh pada tanggal 25 Desember, sementara sebagian yang lain merayakannya di awal Januari.

Kemeriahan perayaan Natal juga disumbang oleh bertransformasinya Natal dari sekedar aktivitas keagamaan menjadi sebuah kegiatan budaya dan komersial. Setidaknya, hal inilah yang tampak terlihat jelas di Taiwan. Padahal, sekitar 93% dari 23 juta penduduk Taiwan adalah penganut tradisi yang merupakan perpaduan antara Budha, Konghucu, serta Tao, dan hanya 4,5% saja yang memeluk Kristiani. Akan tetapi, bila melihat hiruk pikuk penduduk dalam menyambut perayaan Natal, terasa seolah-olah Kristen adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Demikian juga yang terlihat di Tainan, sebuah kota budaya yang juga ibukota Taiwan masa lampau. Sejak sebulan sebelum hari Natal tiba, seluruh penjuru kota telah sibuk berhias. Pohon terang terlihat dipajang di sekolah, universitas, pusat perbelanjaan, kantor, asrama, juga di tempat-tempat publik lainnya. Sosok penjaga toko berpakaian ala sinterklas amat lazim ditemui. Lagu-lagu Natal pun menjadi akrab di telinga. Di beberapa sudut kota, tak jarang terlihat sekelompok orang memainkan alat musik, melantunkan kidung-kidung Natal. Bahkan, terdapat beberapa pertunjukan musik dan kemeriahan lainnya yang sengaja diselenggarakan secara khusus guna merayakan Natal.

Pohon terang beragam ukuran dan bermacam-macam hiasan Natal juga dipajang di hampir setiap lantai di departemen tempat saya belajar, yang menempati sebuah gedung berlantai tujuh. Saya pernah bertanya kepada seorang staf departemen tentang kemungkinan banyak mahasiswa yang beragama Kristen sebagai alasan pemasangan ragam atribut Natal itu. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jawabnya. Apakah para dosennya? Ternyata, meskipun hampir seluruhnya lulusan Amerika Serikat, tidak satu pun yang memeluk Kristiani. “Lalu, mengapa tampak bersemangat memajang pohon terang?” tanyaku ingin tahu. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak punya jawabannya. Segala kemeriahan itu semakin terasa janggal bila mengingat bahwa hari Natal bahkan bukan merupakan hari libur. Kantor-kantor tetap buka dan sekolah-sekolah pun tetap masuk.

Memang, berlainan dengan di Indonesia yang perayaan Natal selalu juga berperspektifkan teologis, perayaan Natal di Negeri Formosa ini lebih condong sebagai peristiwa budaya dan komersial. Persis sama dengan saat orang merayakan tahun baru. Karenanya, meski bukan penganut Kristen, mereka rela menembus malam-malam yang menggigil di tengah musim dingin dan dengan penuh semangat memadati pusat-pusat perbelanjaan, memborong pernak-pernik Natal, mengirim kartu Natal, memasang hiasan Natal, dan dengan riang hati mengucapkan selamat Natal kepada semua orang. Karena itu, tak jarang kulihat wajah-wajah terkejut, heran, tak mengerti, dan penuh tanda tanya, ketika banyak kawan mengucapkan selamat Natal kepadaku namun mendapatkan jawaban aneh nan tak terduga, “Sorry, I am a Muslim and I don’t celebrate Christmas.”

Saturday, December 12, 2009

Mengunjungi TKI di Penjara Taiwan

kompleks detention center di Nantou County
kompleks detention center di Nantou County

Bersih, rapi, dan ramah. Itulah kesan yang segera tertangkap ketika kami berkunjung ke Nantou Detention Center. Hari itu, kami bertujuh, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh program magister dan doktor di berbagai perguruan tinggi di Taiwan, mengunjungi sebuah detention center di Nantou County, Taiwan bagian tengah. Kedatangan kami juga disertai oleh Imam Masjid Taichung, karena sesuai prosedur yang berlaku setiap kunjungan orang asing haruslah disertai oleh warga Taiwan.

Di gerbang depan, kami menyerahkan ID card untuk ditukar dengan kartu pengunjung, menjalani pemeriksaan suhu tubuh, dan disemprot cairan disinfektan. Di pintu masuk dalam, beberapa petugas menyambut kami dengan ramah. Seorang wanita petugas humas menjelaskan ada sekitar 20 detainee pria dan 60 detainee wanita yang berkewarganegaraan Indonesia di detention center tersebut. Karena pertemuan dengan detainee pria dan wanita akan dilangsungkan di lantai yang berlainan, kami pun segera membagi barang-barang yang kami bawa.

Sementara kawan-kawan putri pergi ke lantai dua untuk menjumpai detainee wanita, kami berempat menuju lantai tiga guna bertemu dengan sekitar 20-an detainee pria. Mereka tampak antusias menyambut kedatangan kami. Berseragamkan hijau muda, satu persatu mereka menjabat erat tangan kami. Banyak di antara mereka yang matanya berkaca-kaca. Barangkali mereka bersedih dengan keadaan yang sedang mereka alami atau teringat sanak keluarga di tanah air.

barang-barang yang disumbangkan
barang-barang yang disumbangkan

Sementara petugas detention center membongkar dan memeriksa seluruh barang yang kami bawa untuk para detainee, pertemuan pun kami mulai. Pertemuan diawali dengan perkenalan masing-masing, termasuk nama, asal, dan pekerjaan sebelum harus masuk detention center. Setelah siraman rohani singkat, kami pun mendiskusikan permasalahan yang tengah mereka hadapi. Sebelum menghuni detention center, para detainee pria umumnya bekerja sebagai anak buah kapal dan pekerja pabrik. Sedangkan sebagian besar detainee wanita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.

Permasalahan yang membuat mereka harus mendekam di detention center, sebagian besar adalah karena kabur dari kapal, pabrik, majikan, atau agen mereka. Tindakan itu terpaksa mereka lakukan karena kecilnya gaji yang mereka terima (bahkan ada detainee yang mengaku tidak dibayar selama beberapa bulan) atau tidak betah dengan majikan yang galak. Seorang detainee mengaku kabur dari agen setelah bosan menunggu lama tak juga dipekerjakan kembali setelah majikan lamanya meninggal dunia. Ada pula detainee yang beralasan kabur dari agen karena kesal hak-haknya atas uang libur dan sejenisnya ditilap. Nasib apes dialami seorang detainee wanita, yang langsung digelandang ke detention center itu begitu menginjakkan kaki di bandara Taiwan. Ternyata, sebelumnya ia telah pernah dideportasi dari Taiwan karena melarikan diri dari majikannya. Hebatnya, ia nekat mencoba kembali masuk Taiwan, yang akhirnya berakhir di detention center.

Detainee pria terlama, bekas pekerja pabrik berasal dari Tegal, telah menghuni DC Nantou selama 3 bulan. Sementara detainee wanita terlama mengaku telah mendekam di tahanan imigrasi itu selama 7 bulan karena kasus kawin kontrak dengan seorang warga Taiwan.

berfoto bersama para penjaga Nantou Detention Centerberfoto bersama para penjaga Nantou Detention Center (berjaket merah adalah
Imam Masjid Taichung)

Para detainee mengharapkan bantuan keuangan untuk dapat segera keluar dari detention center tersebut. Setiap orang rata-rata membutuhkan dana minimal NT $ 18,000, yang terdiri atas NT $ 8,000 untuk biaya tiket pesawat dan sisanya guna membayar denda. Mungkin karena bosan terkurung di tempat yang sama berbulan-bulan, mereka juga menyampaikan harapan agar kunjungan semacam yang kami lakukan dapat diperkerap. Yang menarik, tak satu pun tampak tertarik untuk memanfaatkan kesempatan ketika kami menawarkan bantuan menyampaikan pesan kepada keluarga mereka di tanah air.

Meski rasanya masih banyak yang ingin diobrolkan, waktu kunjungan kami yang singkat telah habis. Ketika kami meninggalkan pintu bangsal mereka yang berjeruji, tampak mereka bersuka cita mengambil beragam barang yang kami bawa seperti kurma (sumbangan Imam Masjid Taichung), mi, cemilan, pakaian, peralatan sholat, kitab suci Al Qurán, buku, serta majalah.

Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama para pegawai detention center. Sayangnya, usai berfoto, mereka memeriksa kamera kami satu persatu dan, dengan alasan pelanggaran atas hak asasi manusia, menghapus seluruh foto yang memuat gambar detainee.

Semoga Pemerintah kita dapat lebih memberikan perhatian kepada nasib para warganya yang sedang menderita di negeri orang…

berfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Centerberfoto di depan lukisan tembok dalam Nantou Detention Center