Bersih, rapi, dan ramah. Itulah kesan yang segera tertangkap ketika kami berkunjung ke Nantou Detention Center. Hari itu, kami bertujuh, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh program magister dan doktor di berbagai perguruan tinggi di Taiwan, mengunjungi sebuah detention center di Nantou County, Taiwan bagian tengah. Kedatangan kami juga disertai oleh Imam Masjid Taichung, karena sesuai prosedur yang berlaku setiap kunjungan orang asing haruslah disertai oleh warga Taiwan.
Di gerbang depan, kami menyerahkan ID card untuk ditukar dengan kartu pengunjung, menjalani pemeriksaan suhu tubuh, dan disemprot cairan disinfektan. Di pintu masuk dalam, beberapa petugas menyambut kami dengan ramah. Seorang wanita petugas humas menjelaskan ada sekitar 20 detainee pria dan 60 detainee wanita yang berkewarganegaraan Indonesia di detention center tersebut. Karena pertemuan dengan detainee pria dan wanita akan dilangsungkan di lantai yang berlainan, kami pun segera membagi barang-barang yang kami bawa.
Sementara kawan-kawan putri pergi ke lantai dua untuk menjumpai detainee wanita, kami berempat menuju lantai tiga guna bertemu dengan sekitar 20-an detainee pria. Mereka tampak antusias menyambut kedatangan kami. Berseragamkan hijau muda, satu persatu mereka menjabat erat tangan kami. Banyak di antara mereka yang matanya berkaca-kaca. Barangkali mereka bersedih dengan keadaan yang sedang mereka alami atau teringat sanak keluarga di tanah air.
Sementara petugas detention center membongkar dan memeriksa seluruh barang yang kami bawa untuk para detainee, pertemuan pun kami mulai. Pertemuan diawali dengan perkenalan masing-masing, termasuk nama, asal, dan pekerjaan sebelum harus masuk detention center. Setelah siraman rohani singkat, kami pun mendiskusikan permasalahan yang tengah mereka hadapi. Sebelum menghuni detention center, para detainee pria umumnya bekerja sebagai anak buah kapal dan pekerja pabrik. Sedangkan sebagian besar detainee wanita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.
Permasalahan yang membuat mereka harus mendekam di detention center, sebagian besar adalah karena kabur dari kapal, pabrik, majikan, atau agen mereka. Tindakan itu terpaksa mereka lakukan karena kecilnya gaji yang mereka terima (bahkan ada detainee yang mengaku tidak dibayar selama beberapa bulan) atau tidak betah dengan majikan yang galak. Seorang detainee mengaku kabur dari agen setelah bosan menunggu lama tak juga dipekerjakan kembali setelah majikan lamanya meninggal dunia. Ada pula detainee yang beralasan kabur dari agen karena kesal hak-haknya atas uang libur dan sejenisnya ditilap. Nasib apes dialami seorang detainee wanita, yang langsung digelandang ke detention center itu begitu menginjakkan kaki di bandara Taiwan. Ternyata, sebelumnya ia telah pernah dideportasi dari Taiwan karena melarikan diri dari majikannya. Hebatnya, ia nekat mencoba kembali masuk Taiwan, yang akhirnya berakhir di detention center.
Detainee pria terlama, bekas pekerja pabrik berasal dari Tegal, telah menghuni DC Nantou selama 3 bulan. Sementara detainee wanita terlama mengaku telah mendekam di tahanan imigrasi itu selama 7 bulan karena kasus kawin kontrak dengan seorang warga Taiwan.
Para detainee mengharapkan bantuan keuangan untuk dapat segera keluar dari detention center tersebut. Setiap orang rata-rata membutuhkan dana minimal NT $ 18,000, yang terdiri atas NT $ 8,000 untuk biaya tiket pesawat dan sisanya guna membayar denda. Mungkin karena bosan terkurung di tempat yang sama berbulan-bulan, mereka juga menyampaikan harapan agar kunjungan semacam yang kami lakukan dapat diperkerap. Yang menarik, tak satu pun tampak tertarik untuk memanfaatkan kesempatan ketika kami menawarkan bantuan menyampaikan pesan kepada keluarga mereka di tanah air.
Meski rasanya masih banyak yang ingin diobrolkan, waktu kunjungan kami yang singkat telah habis. Ketika kami meninggalkan pintu bangsal mereka yang berjeruji, tampak mereka bersuka cita mengambil beragam barang yang kami bawa seperti kurma (sumbangan Imam Masjid Taichung), mi, cemilan, pakaian, peralatan sholat, kitab suci Al Qurán, buku, serta majalah.
Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama para pegawai detention center. Sayangnya, usai berfoto, mereka memeriksa kamera kami satu persatu dan, dengan alasan pelanggaran atas hak asasi manusia, menghapus seluruh foto yang memuat gambar detainee.
Semoga Pemerintah kita dapat lebih memberikan perhatian kepada nasib para warganya yang sedang menderita di negeri orang…
2 comments:
Nice to read your post :)
salam kenal :D
Terima kasih atas perhatiannya. Salam kenal kembali...
Post a Comment