Wednesday, November 28, 2007

Musim Sopan Telah Tiba

Saat ini Taiwan mulai memasuki musim dingin. Meski tiada bersalju, musim dingin di Taiwan terasa cukup menggigit. Tahun lalu di Tainan bahkan mencapai 10 derajat celcius. Di daerah Utara, biasanya bisa 2 hingga 5 derajat lebih rendah daripada di wilayah Selatan. Bagi mereka yang baru pertama kali meninggalkan tanah air, tentunya musim dingin ini akan dinantikan dengan harap-harap cemas: seberapa dinginkah nanti? Kuatkah tubuhku untuk mengatasinya? Apa yang harus kupersiapkan? Serta pertanyaan-pertanyaan semacam. Beberapa hari ini, kala suhu di Tainan bergerak antar 16-17 derajat celcius, beragam sign di yahoo messenger mahasiswa Indonesia didominasi perasaan kedinginan seperti "I am freezing..." atau "Dingiiiin..." atau ada yang menulis "Menerjang dinginnya Tainan".

Bagi mereka yang datang dari negara yang berdekatan dengan kutub Utara atau Selatan, musim dingin di Taiwan barangkali tak cukup istimewa. Seorang kawan dari Estonia, misalnya, datang ke kelas dengan baju yang tetap seksi, sementara teman sekelas lainnya hadir berbalutkan sweater dan jaket tebal. Katanya, winter di Taiwan seperti summer di negerinya, karena winter di Estonia bisa mencapai 30 derajat di bawah nol !!! Sedangkan seorang kawan dari Kazakhstan sering kulihat keluar kamar hanya bercelana pendek dan bertelanjang dada, padahal pada saat yang sama aku keluar kamar dengan mengenakan sweater, celana panjang, dan kaos kaki.

Satu perubahan lain saat musim dingin adalah hampir semua orang mengenakan baju yang jauh lebih "sopan": berlengan panjang, celana panjang, berjaket tebal, bahkan tak sedikit yang juga berpenutup kepala. Sebuah perubahan yang mencolok dibandingkan dengan gaya berbusana musim panas yang amat seksi dan "seadanya". Berlainan dengan saat musim panas yang terasa "tampak aneh", maka saat musim dingin tiba busana para mahasiswi yang mengenakan jilbab menjadi "tampak sesuai". Menarik rasanya mendengar orang berkomentar tentang jilbab: "Sebuah rancangan pakaian musim dingin yang menawan." Sementara, kala melihat wanita berjilbab di musim panas, barangkali komentar yang muncul adalah, "Ah, mereka itu pasti orang yang tak faham mode"...

Tuesday, November 20, 2007

Anting dan Kehidupan Kedua

Setiap Sabtu pagi, selama tiga jam aku harus duduk di ruang kelas 62453, untuk mengikuti kuliah "Special Topics on Corporate Finance". Sebetulnya, tidaklah terlalu tepat bila disebut "mengikuti kuliah", karena kuliah tersebut disampaikan dalam bahasa Mandarin, sehingga bisa dipastikan aku tak memahaminya sama sekali. Jadilah, biasanya, aku membawa serta paper atau buku yang bisa kubaca selama kuliah berlangsung. Tapi, kalau sedang suntuk, ya paling hanya bengong saja.

Seperti Sabtu itu, kupandangi satu persatu teman-teman sekelasku. Dari sekitar 30-an orang mahasiswa di dalam kelas, tampaknya hanya aku yang berkulit (agak) gelap dan bermata (agak) lebar, he..he..he.. Tapi, tunggu dulu...ada fakta menarik yang lain. Dua pertiga yang hadir adalah perempuan, dan hanya satu yang menggunakan anting!!! Ah, tetapi...yang satu itu...temanku, orang Indonesia. Jadi, dengan demikian, seluruh mahasiswi Taiwan yang ada di ruangan kompak tak memakai anting. Mengapa ya?

Kala jeda kuliah, kutanyakan hal tersebut kepada seorang mahasiswi yang duduk di sebelahku. Dengan bahasa Inggris yang sesekali diselingi bahasa Mandarin --tentu saja temanku yang pakai anting itu yang kemudian menerjemahkannya-- ia menjelaskan alasan perempuan di Taiwan sebagian besar --bila tak bisa disebut seluruhnya-- tak menggunakan anting.

Katanya, di Taiwan ada kepercayaan bahwa bilamana perempuan tak menggunakan anting, maka di kehidupan kedua setelah mati kelak, ia akan bereinkarnasi menjadi lelaki. Sebaliknya, bila seorang perempuan menggunakan anting, dalam kehidupan keduanya nanti ia akan tetap menjadi perempuan. Lalu apa istimewanya menjadi lelaki dibandingkan menjadi perempuan? Ia beralasan, di Taiwan, posisi lelaki lebih tinggi dan lebih dihargai dibandingkan perempuan. Oleh karena itu, menjadi lelaki di kehidupan kedua lebih didamba dibandingkan (kembali) menjadi perempuan...

Wednesday, November 07, 2007

Oseng-Oseng Kangkung

Kala harus kembali di Taiwan setelah menikmati liburan musim panas di Indonesia selama sekitar dua setengah bulan, ada beragam perasaan yang bercampur aduk. Harus diakui, selama hampir satu tahun tinggal di Taiwan, negeri ini telah memberi pengalaman baru yang berbeda dengan tanah air. Kebersihan, kerja keras, disiplin, serta fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Namun, meninggalkan keluarga di tanah air, jelas juga bukan hal yang ringan untuk ditempuh. Seringkali, muncul perasaan bersalah, karena jelas sekali mereka membutuhkan kehadiranku di sisi mereka. Apalagi, selama berada di rumah, aku berusaha mengoptimalkan kehadiranku, mencoba mengkompensasikan ketidakhadiranku selama sepuluh bulan, sehingga keberangkatanku kembali ke Taiwan pastilah akan sangat berat bagi mereka. Apalagi, dua anakku yang pertama, tentunya sekarang bisa lebih memperkirakan, seberapa lama Bapak mereka akan tinggal di Taiwan, sebelum pulang kembali saat libur musim panas.

Ketika tiba kembali di Taiwan, beragam kejadian tak menyenangkan kualami. Pertama, kala di Bandara Kaohsiung, petugas bea cukai menyita dua bungkus abon yang kubawa. Katanya, Indonesia sumber penyakit kuku dan mulut. Kedua, sesampai di dorm, ternyata kamar tidurku telah ditempati oleh seorang mahasiswa Taiwan. Memang, kantor urusan International Students NCKU telah beberapa kali menyuruhku pindah ke North Building. Tetapi, aku selalu menolak sambil mempertanyakan alasan pemindahan seluruh mahasiswa asing dari South Building. Mereka tak pernah bisa menyampaikan alasan yang kuat tentang hal itu, namun tanpa ba bi bu langsung menempatkan seorang mahasiswa Taiwan di kamarku. Akhirnya selama beberapa hari aku harus menumpang di kamar 209, tempat Mr. Feri dan Mr. Samsul tinggal.

Oleh NCKU, sebenarnya aku ditempatkan di kamar 301, bersama dua orang mahasiswa PhD asal Myanmar. Tetapi, agaknya mereka enggan menerimaku. Mereka kemudian menyampaikan ke NCKU bahwa Paul, tetangga kamar akan tinggal bersama mereka, dan aku akan menempati kamar Paul di 302. Itu sebenarnya hanya alasan mereka saja agar dapat menempati kamar yang seharusnya berkapasitas tiga orang hanya untuk mereka berdua saja, karena Paul, seperti kebanyakan mahasiswa dari Eropa dan Amerika Utara, biasanya ogah tinggal di dorm yang gerah. Setelah tiga hari ngungsi di kamar 209, akhirnya aku pun menempati kamar 302. Secara resmi, sesungguhnya aku tinggal bersama Abraham, mahasiswa PhD asal Kanada di Institute of International Management Program. Namun, ia tak pernah menempati kamar itu, dan hanya menitipkan barang-barangnya yang jumlahnya lumayan banyak. Ia bilang, kamarnya panas karena tanpa penyejuk udara. Lagipula, kupikir, tak mungkin ia tidur di tempat tidur yang disediakan yang berukuran hanya sekitar 175 cm, sementara tingginya sekitar 2 meter.

Berbeda dengan South Building, di North Building ini sering tercium bau sedap masakan. Meskipun secara resmi ada larangan memasak di dormitory, namun para mahasiswa internasional menganggapnya angin lalu. Selain bisa menghemat uang, mereka sering beralasan tidak cocok dengan masakan Taiwan. Jadilah, setiap menjelang saat makan siang atau makan malam, terutama di lantai 2 dan 3, tercumlah beragam aroma masakan India, Vietnam, Kamboja, Maroko, dan tentu saja, Indonesia.

Sejak di Indonesia, aku sendiri sesungguhnya tak biasa (dan tak bisa) memasak. Biasanya, hanya masak nasi menggunakan rice cooker. Atau, paling-paling, membantu istri menyiapkan bahan-bahan masakan. Tapi, kupikir-pikir, masa sih tak ada kemajuan? Kata orang, alah bisa karena terpaksa. Lalu, dengan bersepeda pergilah aku ke RT-Mart, membeli peralatan memasak, beberapa macam sayur dan bumbu masak. Sampai di kamar, kucoba lah memasak ikan sardin kaleng, ditambah beragam sayur dan bumbu. Hasilnya? Lumayan. Esok harinya, sayur kangkung yang berkuah bening. Hasilnya? Not too bad. Nah, sudah beberapa hari terakhir ini aku mencoba memasak salah satu makanan favoritku: oseng-oseng kangkung. Hasilnya? Hen hao chi !! Zhen de !!