Sunday, March 29, 2009

Ironi Laskar Pelangi

Tadi malam, selama sekitar dua jam, aku menyaksikan film Laskar Pelangi melalui Youtube. Sebenarnya, sudah sejak sekitar satu tahun lalu aku memiliki e-book Laskar Pelangi. Tidak berapa lama kemudian, kubeli pula edisi cetaknya. Akan tetapi, hingga sekarang keduanya belum pernah kubaca. Jadilah, semalam merupakan perjumpaan pertama dengan Laskar Pelangi.

Meskipun kisah Laskar Pelangi berlatarbelakangkan keadaan di Belitong, sebuah pulau kecil di Provinsi Bangka Belitung, pada masa 1970-an, namun sesungguhnyalah kondisi di film itu masih amat jamak dijumpai saat ini di banyak wilayah lain di Indonesia. Tak perlulah pergi jauh ke pelosok negeri bila hanya ingin menjadi saksi kondisi memprihatinkan sarana pendidikan di tanah air. Di beberapa wilayah di Jakarta pun, ibukota negeri kita, atap bocor, langit-langit menganga, atau tembok yang hampir runtuh, amat mudah ditemukan.


Di film itu juga dikisahkan tentang gaji guru, yang meski jumlahnya kecil pun, sering tertunda pembayarannya. Sekarang pun, setelah hampir 64 tahun merdeka, masih acap kita dengar berita bagaimana gaji guru di beberapa tempat yang hanya berbilang Rp 100.000 - Rp 200.000 tidak dapat diterimakan tepat waktu. Jadilah, cerita seorang guru yang setelah menunaikan tugas sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kemudian berkarya sebagai tukang ojeg atau pemulung sering kita baca di media massa.

Ironisnya, pada saat yang hampir bersamaan, kondisi yang bertolak belakang tidak jarang terjadi, yang membuat kita layak mempertanyakan kebenaran arah perjalanan kita sebagai sebuah bangsa selama ini.

Lihatlah, di saat banyak murid menyabung nyawa bersekolah di gedung yang atapnya hampir ambruk, beragam tugu peringatan miliaran rupiah didirikan. Di saat gaji guru yang hanya seratusan ribu rupiah tidak mampu dibayarkan, mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah ludes terjual. Di saat ada murid sekolah menggantung diri karena malu tak mampu membayar uang sekolah, ribuan orang antre hingga tengah malam untuk membeli sebuah iPhone seharga lebih dari sebelas juta rupiah. Dan daftar pun bisa menjadi sangat panjang. Ironi sebuah negeri yang (konon) menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu falsafah hidupnya...

Saturday, March 07, 2009

NTU Kembali Meminta Korban

Kemarin malam, lima hari setelah tewasnya David Hartono Widjaja, seorang staf School of Electrical and Electronics Engineering (EEE) Nanyang Technological University (NTU), sekolah yang sama tempat David belajar, ditemukan tewas menggantung diri di Apartemen khusus staf NTU yang ditinggalinya. Zhou Zheng, warga asal China yang tewas itu, juga lulusan School of EEE NTU, dan baru mulai bekerja tepat saat tragedi yang menimpa David terjadi.

Saat memberi keterangan tentang David, NTU menyatakan bahwa beasiswa David telah dihentikan sejak sebulan sebelumnya. NTU seolah ingin mengesankan bahwa David tidaklah cukup pintar, stres dan tertekan karena beasiswanya dihentikan. Padahal, orang tuanya mengaku bagaimana David menyampaikan persoalan diputusnya beasiswanya kepada keluarga dengan cengengesan. Menariknya, saat menyampaikan jati diri korban, NTU juga menyampaikan informasi bahwa Zhou Zheng adalah alumnus School of EEE NTU dengan 2nd Class Upper Honours. Orang yang membaca informasi ini akan bertanya-tanya, apa relevansi predikat kelulusan dengan kematian? Apakah orang yang lulus dengan First Class Honours tak mungkin bunuh diri?

Banyak orang kini percaya, there must be something wrong with NTU...

Friday, March 06, 2009

Siapa Mau Belajar di Singapura

Sejak kasus tewasnya David Hartono Widjaja, mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) asal Indonesia, banyak blog dan milis memberitakan sisi-sisi lain yang tak diungkap media-media resmi. Misalnya, banyak fakta (dan opini) yang diungkap yang membuat kita layak mempertanyakan kebenaran arus utama berita selama ini yang menyebutkan David menusuk profesornya, kemudian mengiris tangannya sendiri, sebelum akhirnya terjun dari lantai 5 sebuah gedung di kampusnya.

Selain memaparkan fakta-fakta (dan opini) baru yang kemudian menempatkan David sebagai korban, kerasnya perjuangan para mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi Singapura juga banyak diungkap oleh para blogger dan milister. Mereka yang merupakan para pelajar pilihan, sebagian bahkan mantan partisipan olimpiade matematika, fisika dan yang sejenisnya, banyak yang diceritakan mengeluh dengan tekanan yang mereka terima selama belajar di Singapura yang seolah-olah menjadikan mereka hanya sebagai mesin penghasil paten, paper, dan luaran akademis lain sebagai imbalan atas beasiswa yang mereka terima. Beberapa di antara mereka bahkan dikabarkan pernah mencoba mengakhiri hidupnya karena beratnya tekanan.


Menariknya, hanya berselang beberapa hari dari tewasnya David, Negeri Singa itu kembali diguncang oleh kematian seorang mahasiswa. Kali ini korbannya adalah Scott Jared Monat, peserta program pertukaran mahasiswa asal Amerika Serikat di National University of Singapore (NUS). Hari ini, Wu Wenjie, warga China yang menjadi mahasiswa di Singapore Institute of Materials Management ditemukan tergantung dengan kondisi tubuh sudah membusuk. Ketiga kasus kematian mahasiswa ini, bagaimanapun diyakini akan mempengaruhi persepsi orang tentang Singapura sebagai tujuan belajar.

Dari dua kali mengunjungi Singapura, memang tidak dapat diingkari kesan yang tertangkap sebagai tempat yang nyaman untuk menimba ilmu. Selain perguruan-perguruan tinggi yang berkelas dunia, juga negerinya yang bersih, rapi, teratur, dan aman. Ketika kusempatkan jalan-jalan lewat tengah malam, tak ada gangguan sedikit pun yang kualami. Namun, banyak orang menuding bahwa segala kenyamanan itu harus ditukar dengan kebebasan warganya. Memang, seperti kata orang, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau...

Tuesday, March 03, 2009

Mahasiswa Tikam Profesor

Sejak kemarin, media massa ramai memberitakan seorang mahasiswa asal Indonesia yang menikam profesornya di Nanyang Technological University, Singapura. Usai menikam, sang mahasiswa menemui ajal setelah melompat dari lantai 5 sebuah gedung di kampusnya. Sebulan sebelumnya, di Chuo University, Tokyo, seorang profesor juga ditikam di toilet kampusnya, sesaat sebelum memberikan kuliah. Penikamnya diduga adalah mahasiswanya sendiri.

Beragam persoalan memang acap mendera mahasiswa, mulai dari masalah studi, hubungan dengan dosen, beasiswa, atau masalah relasi pria-wanita. Beberapa di antara mereka memilih mengakhiri hidup untuk melarikan diri dari masalah. Sekitar tiga-empat bulan lampau, misalnya, seorang mahasiswa NCKU asal Myanmar tewas setelah menggantung diri di kamar asramanya yang hanya berjarak dua puluhan meter dari asrama tempatku tinggal, konon karena ada masalah dengan pacarnya.

Kisah di Departemen of Electrical Engineering NCKU lebih menyayat hati. Seorang mahasiswa PhD di sana menuturkan, gedung tempatnya kuliah telah merenggut nyawa tiga orang mahasiswa. Dua orang melompat dari lantai 12, sedangkan seorang lagi memilih menggantung diri. Malah, dia mengaku melihat sendiri korban terakhir, seorang mahasiswa program master, menjemput ajal.

Tak lama setelah kasus di Singapura mencuat, beragam milis yang kuikuti ramai membahasnya. Seorang kawan menyarankan membuat bagian khusus Bimbingan dan Konseling di PPI Tainan. Seorang senior mengimbau, siapa saja yang memiliki masalah apa saja agar terbuka dan menyampaikan kepada temannya. Seorang lagi malah menyarankan untuk menerjemahkan berita kasus NTU ini dalam bahasa Inggris dan Mandarin, kemudian mengirimkannya kepada para profesor masing-masing di Taiwan. Mungkin maksudnya, bila tak ingin menemui masalah, jangan main-main dengan mahasiswa Indonesia ya...