Monday, November 20, 2006

Menjala Ikan

Hari Minggu adalah saat melepas kepenatan. Sekitar pukul 10.00, Feri Adriyanto, Bode Haryanto, Samsul Anwar, dan aku berjalan kaki meninggalkan dorm menuju Stasiun Kereta Api Tainan. Pagi itu, kami berempat berencana pergi ke Sinshih (ada pula yang menuliskannya dengan Xin Shih), sekitar 11,4 km ke arah utara Tainan.

Untunglah ada Samsul, yang lumayan fasih berbahasa Mandarin. Kalau tidak, dapat dibayangkan kesulitan yang akan kami alami, karena hampir semua informasi dalam bahasa Mandarin. Termasuk, ketika tiba-tiba ada perintah untuk pindah peron, atau harus bolak-balik bertanya dan naik turun kereta hanya karena tak yakin telah naik kereta yang benar. Yang sedikit mengejutkan adalah ketika mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa Jawa. Ya, memang, biasanya hari Minggu juga dimanfaatkan oleh para TKI untuk melupakan sejenak rutinitas kerja yang mengkungkung.

Sesampai di Sinshih, kami kemudian dijemput seorang TKI bernama Kaul (ia biasa dipanggil demikian, entah siapa nama sebenarnya. Ada yang mengatakan dulu namanya Dedy, tetapi sekarang namanya berubah Sonny.) dan berjalan sekitar lima belas menit menuju sebuah sungai. Di bawah kolong jembatan, kami melihat beberapa TKI tengah sibuk menjala ikan. Kata mereka, entah mengapa, ikan-ikan tersebut hanya mau dijala, tidak pernah mau dipancing. Meski penuh ikan, sungai tersebut tak pernah menarik minat orang Taiwan (atau barangkali karena mereka belum tahu, ya?). Jadilah, para TKI dan pekerja Thailand yang banyak memanfaatkannya di hari libur. Sambil membersihkan ikan-ikan hasil tangkapan, kami berbicara ngalor ngidul di pinggir sungai.

Dengan menenteng ikan hasil tangkapan, kami berjalan meninggalkan sungai menuju pabrik tempat para TKI bekerja. Di tempat parkir, telah berkumpul sekitar sepuluh TKI, termasuk mereka yang datang dari pabrik lain. Setelah menunggu sejenak, kami pun menyantap makan siang bersama dengan ikan bakar hasil tangkapan dan bumbu kacang karya mereka sendiri. Berbotol-botol Taiwan Beer pun mereka habiskan sembari bercerita tentang kehidupan mereka. Banyak di antara mereka yang telah bekerja selama 7 tahun di Taiwan. Mereka juga berkeluh kesah tentang pungutan oleh PJTKI yang bisa mencapai Rp 20 juta hingga Rp 26 juta. Itu bisa berarti pendapatan bersih yang mereka terima setelah bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang selama enam bulan. Teganya...............!!!!!

Sunday, November 05, 2006

Presidents' Forum

Dikunjungi orang tua kala di rantau, tentulah senang rasanya. Begitu pula yang dirasakan para mahasiswa Indonesia di Tainan, ketika beberapa rektor perguruan tinggi Indonesia mengikuti Presidents' Forum of Southeast Asia and Taiwan Universities (SATU) yang diselenggarakan di Kampus NCKU.

Seusai welcome dinner, para rektor dari UI (beserta nyonya), ITB, IPB, Unair (beserta nyonya), Undip, dan Trisakti (wakil rektor Unpad tidak ikut serta) mentraktir tiga belas mahasiswa Indonesia di teras lantai dua sebuah warung makan, sambil menikmati udara malam Tainan yang cerah. Sambil menunggu pesanan datang, seluruh yang hadir, termasuk para rektor, satu persatu berdiri memperkenalkan diri. Suasana menjadi rileks kala para petinggi universitas-universitas terkemuka tersebut ternyata melakukannya dengan amat santai dan penuh humor.
Kami yang memang sedang menghadapi banyak kesulitan, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengadu kepada para orang tua kami tersebut. Secara bergantian kami mengeluhkan persoalan bahasa mandarin yang digunakan secara ekstensif dalam perkuliahan dan kehidupan akademis, beasiswa yang hingga kini belum turun, serta keharusan bekerja untuk memperoleh beasiswa tersebut. Meski berjanji untuk melakukan segala yang mungkin untuk membantu, dengan kompak mereka menyampaikan bahwa apa yang kami "derita" adalah hal yang biasa, bahkan lebih baik dibandingkan dengan yang mereka alami masa dulu. Berulangkali, diseling dengan canda dan baca puisi, mereka mendorong kami untuk lebih bersemangat menghadapi keadaan.

Yang mengagetkan adalah ketika Rektor IPB Prof. A. A. Mattjik mengatakan bahwa kalau sudah lulus, sebaiknya tidak langsung pulang ke Indonesia, namun satu atau dua tahun bekerja dahulu di Taiwan untuk menambah pengalaman. Benar nih, Pak? Dengan resmi diizinkan untuk tidak segera kembali, nih?

Thursday, November 02, 2006

Halal bi Halal

Oleh Qaris Tajudin*)

Dalam beberapa hari ini, ada dua frasa yang sering Anda dengar: minal aidin wal faizin dan halal bi halal. Frasa pertama akan ratusan kali kita dengar ketika bertemu handai taulan pada saat Lebaran atau beberapa hari setelahnya. Sambil tersenyum mereka akan mengulurkan tangan dan mengucapkan: Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Penggalan yang sama akan Anda lihat di iklan dan juga memenuhi kotak pesan pendek telepon seluler.

Kira-kira sepekan setelah Lebaran, ketika kita sudah kembali dari mudik yang melelahkan, akan banyak undangan mampir ke meja kita dan juga melalui surat elektronik. Undangan halal bi halal. Frasa ini merujuk pada acara kumpul-kumpul yang khusus dilaksanakan setelah Lebaran. Kedua frasa itu jelas berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik Islam maupun Kristen. Meski demikian, keduanya tidak dikenal dalam budaya Arab.

Saat Lebaran, orang Arab biasa bertahniah dengan: Kullu aam wa antum bikhair, yang berarti semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik. Kalimat yang sama mereka ucapkan untuk menyambut tahun baru, Islam maupun Masehi. Mereka yang lebih beragama akan mengucap:Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Tuhan menerima amal kami dan Anda).

Selain tidak dikenal dalam budaya Arab, halal bi halal dan minal aidin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Justru kita akan kesulitan saat mencoba memahami artinya dalam bahasa Arab. Minal aidin wal faizin terjemahannya adalah: dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Ini tentu bukan kalimat sempurna. Entah dipenggal dari kalimat apa. Kalau mau menebak-nebak, mungkin yang dimaksud adalah: Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalanTuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).

Yang lebih pelik adalah memahami asal-muasal halal bi halal. Sampai kuping berdenging pun kita akan susah mengerti kenapa frasa yang berarti halal dengan halal itu kemudian kita pakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Apakah karena dalam pertemuan itu kita dihalalkan makan pada siang hari, sesuatu yang haram dikerjakan saat Ramadan. Tapi apa bedanya kalau pertemuannya pada malam hari?

Selain kedua frasa itu, banyak istilah agama dari bahasa Arab yang tidak hanya membingungkan, tapi bahkan salah. Penggunaan kata muhrim, misalnya. Banyak orang, bahkan para ulama, mengartikan muhrim sebagai anggota keluarga yang dilarang untuk dinikahi (ibu/bapak,saudara/saudari, paman/bibi, dll). Seorang pria tidak boleh berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, demikian kata seorang ustaz dalam ceramah Ramadannya di televisi.

Ini jelas salah kaprah. Muhrim sebenarnya berarti orang yang berihram.Orang yang berhaji disebut muhrim (mengharamkan) , karena mereka mengharamkan dirinya melakukan pekerjaan yang sesungguhnya halal, seperti memakai wewangian dan bersetubuh dengan istri.

Sedangkan istilah untuk anggota keluarga yang haram dinikahi adalah mahram (orang yang diharamkan). Kesalahan terjadi karena muhrim dan mahram dalam bahasa Arab ditulis dengan tulisan yang sama (mim-ha-ra- mim).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesalahan juga terjadi. Selain mengartikan muhrim sebagai orang yang berihram, Kamus itu juga menyamakan muhrim dengan mahram. Kesalahan lain yang agak ringan adalah memakai kata jamak untuk benda tunggal. Misalnya: Ceramah itu disampaikan oleh seorang ulama terkenal. Ulama adalah bentukan jamak dari alim, yaitu orang yang berpengetahuan. Shalat, zakat, niat, sesungguhnya juga bentukan jamak dari shalah, zakah, dan niah. Namun ada yang mengatakan, ini terjadi bukan karena kita mengambil kata-kata itu dari Arab, melainkan dari Persia. Wallahu alam.

*) Wartawan Tempo