Dalam beberapa hari ini, ada dua frasa yang sering Anda dengar: minal aidin wal faizin dan halal bi halal. Frasa pertama akan ratusan kali kita dengar ketika bertemu handai taulan pada saat Lebaran atau beberapa hari setelahnya. Sambil tersenyum mereka akan mengulurkan tangan dan mengucapkan: Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. Penggalan yang sama akan Anda lihat di iklan dan juga memenuhi kotak pesan pendek telepon seluler.
Kira-kira sepekan setelah Lebaran, ketika kita sudah kembali dari mudik yang melelahkan, akan banyak undangan mampir ke meja kita dan juga melalui surat elektronik. Undangan halal bi halal. Frasa ini merujuk pada acara kumpul-kumpul yang khusus dilaksanakan setelah Lebaran. Kedua frasa itu jelas berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik Islam maupun Kristen. Meski demikian, keduanya tidak dikenal dalam budaya Arab.
Saat Lebaran, orang Arab biasa bertahniah dengan: Kullu aam wa antum bikhair, yang berarti semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik. Kalimat yang sama mereka ucapkan untuk menyambut tahun baru, Islam maupun Masehi. Mereka yang lebih beragama akan mengucap:Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Tuhan menerima amal kami dan Anda).
Selain tidak dikenal dalam budaya Arab, halal bi halal dan minal aidin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Justru kita akan kesulitan saat mencoba memahami artinya dalam bahasa Arab. Minal aidin wal faizin terjemahannya adalah: dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Ini tentu bukan kalimat sempurna. Entah dipenggal dari kalimat apa. Kalau mau menebak-nebak, mungkin yang dimaksud adalah: Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalanTuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).
Yang lebih pelik adalah memahami asal-muasal halal bi halal. Sampai kuping berdenging pun kita akan susah mengerti kenapa frasa yang berarti halal dengan halal itu kemudian kita pakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Apakah karena dalam pertemuan itu kita dihalalkan makan pada siang hari, sesuatu yang haram dikerjakan saat Ramadan. Tapi apa bedanya kalau pertemuannya pada malam hari?
Selain kedua frasa itu, banyak istilah agama dari bahasa Arab yang tidak hanya membingungkan, tapi bahkan salah. Penggunaan kata muhrim, misalnya. Banyak orang, bahkan para ulama, mengartikan muhrim sebagai anggota keluarga yang dilarang untuk dinikahi (ibu/bapak,saudara/saudari, paman/bibi, dll). Seorang pria tidak boleh berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, demikian kata seorang ustaz dalam ceramah Ramadannya di televisi.
Ini jelas salah kaprah. Muhrim sebenarnya berarti orang yang berihram.Orang yang berhaji disebut muhrim (mengharamkan) , karena mereka mengharamkan dirinya melakukan pekerjaan yang sesungguhnya halal, seperti memakai wewangian dan bersetubuh dengan istri.
Sedangkan istilah untuk anggota keluarga yang haram dinikahi adalah mahram (orang yang diharamkan). Kesalahan terjadi karena muhrim dan mahram dalam bahasa Arab ditulis dengan tulisan yang sama (mim-ha-ra- mim).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesalahan juga terjadi. Selain mengartikan muhrim sebagai orang yang berihram, Kamus itu juga menyamakan muhrim dengan mahram. Kesalahan lain yang agak ringan adalah memakai kata jamak untuk benda tunggal. Misalnya: Ceramah itu disampaikan oleh seorang ulama terkenal. Ulama adalah bentukan jamak dari alim, yaitu orang yang berpengetahuan. Shalat, zakat, niat, sesungguhnya juga bentukan jamak dari shalah, zakah, dan niah. Namun ada yang mengatakan, ini terjadi bukan karena kita mengambil kata-kata itu dari Arab, melainkan dari Persia. Wallahu alam.
*) Wartawan Tempo
Yang lebih pelik adalah memahami asal-muasal halal bi halal. Sampai kuping berdenging pun kita akan susah mengerti kenapa frasa yang berarti halal dengan halal itu kemudian kita pakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Apakah karena dalam pertemuan itu kita dihalalkan makan pada siang hari, sesuatu yang haram dikerjakan saat Ramadan. Tapi apa bedanya kalau pertemuannya pada malam hari?
Selain kedua frasa itu, banyak istilah agama dari bahasa Arab yang tidak hanya membingungkan, tapi bahkan salah. Penggunaan kata muhrim, misalnya. Banyak orang, bahkan para ulama, mengartikan muhrim sebagai anggota keluarga yang dilarang untuk dinikahi (ibu/bapak,saudara/saudari, paman/bibi, dll). Seorang pria tidak boleh berduaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya, demikian kata seorang ustaz dalam ceramah Ramadannya di televisi.
Ini jelas salah kaprah. Muhrim sebenarnya berarti orang yang berihram.Orang yang berhaji disebut muhrim (mengharamkan) , karena mereka mengharamkan dirinya melakukan pekerjaan yang sesungguhnya halal, seperti memakai wewangian dan bersetubuh dengan istri.
Sedangkan istilah untuk anggota keluarga yang haram dinikahi adalah mahram (orang yang diharamkan). Kesalahan terjadi karena muhrim dan mahram dalam bahasa Arab ditulis dengan tulisan yang sama (mim-ha-ra- mim).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesalahan juga terjadi. Selain mengartikan muhrim sebagai orang yang berihram, Kamus itu juga menyamakan muhrim dengan mahram. Kesalahan lain yang agak ringan adalah memakai kata jamak untuk benda tunggal. Misalnya: Ceramah itu disampaikan oleh seorang ulama terkenal. Ulama adalah bentukan jamak dari alim, yaitu orang yang berpengetahuan. Shalat, zakat, niat, sesungguhnya juga bentukan jamak dari shalah, zakah, dan niah. Namun ada yang mengatakan, ini terjadi bukan karena kita mengambil kata-kata itu dari Arab, melainkan dari Persia. Wallahu alam.
*) Wartawan Tempo