Ketika tiba kembali di Taiwan, beragam kejadian tak menyenangkan kualami. Pertama, kala di Bandara Kaohsiung, petugas bea cukai menyita dua bungkus abon yang kubawa. Katanya, Indonesia sumber penyakit kuku dan mulut. Kedua, sesampai di dorm, ternyata kamar tidurku telah ditempati oleh seorang mahasiswa Taiwan. Memang, kantor urusan International Students NCKU telah beberapa kali menyuruhku pindah ke North Building. Tetapi, aku selalu menolak sambil mempertanyakan alasan pemindahan seluruh mahasiswa asing dari South Building. Mereka tak pernah bisa menyampaikan alasan yang kuat tentang hal itu, namun tanpa ba bi bu langsung menempatkan seorang mahasiswa Taiwan di kamarku. Akhirnya selama beberapa hari aku harus menumpang di kamar 209, tempat Mr. Feri dan Mr. Samsul tinggal.
Oleh NCKU, sebenarnya aku ditempatkan di kamar 301, bersama dua orang mahasiswa PhD asal Myanmar. Tetapi, agaknya mereka enggan menerimaku. Mereka kemudian menyampaikan ke NCKU bahwa Paul, tetangga kamar akan tinggal bersama mereka, dan aku akan menempati kamar Paul di 302. Itu sebenarnya hanya alasan mereka saja agar dapat menempati kamar yang seharusnya berkapasitas tiga orang hanya untuk mereka berdua saja, karena Paul, seperti kebanyakan mahasiswa dari Eropa dan Amerika Utara, biasanya ogah tinggal di dorm yang gerah. Setelah tiga hari ngungsi di kamar 209, akhirnya aku pun menempati kamar 302. Secara resmi, sesungguhnya aku tinggal bersama Abraham, mahasiswa PhD asal Kanada di Institute of International Management Program. Namun, ia tak pernah menempati kamar itu, dan hanya menitipkan barang-barangnya yang jumlahnya lumayan banyak. Ia bilang, kamarnya panas karena tanpa penyejuk udara. Lagipula, kupikir, tak mungkin ia tidur di tempat tidur yang disediakan yang berukuran hanya sekitar 175 cm, sementara tingginya sekitar 2 meter.
Berbeda dengan South Building, di North Building ini sering tercium bau sedap masakan. Meskipun secara resmi ada larangan memasak di dormitory, namun para mahasiswa internasional menganggapnya angin lalu. Selain bisa menghemat uang, mereka sering beralasan tidak cocok dengan masakan Taiwan. Jadilah, setiap menjelang saat makan siang atau makan malam, terutama di lantai 2 dan 3, tercumlah beragam aroma masakan India, Vietnam, Kamboja, Maroko, dan tentu saja, Indonesia.
Sejak di Indonesia, aku sendiri sesungguhnya tak biasa (dan tak bisa) memasak. Biasanya, hanya masak nasi menggunakan rice cooker. Atau, paling-paling, membantu istri menyiapkan bahan-bahan masakan. Tapi, kupikir-pikir, masa sih tak ada kemajuan? Kata orang, alah bisa karena terpaksa. Lalu, dengan bersepeda pergilah aku ke RT-Mart, membeli peralatan memasak, beberapa macam sayur dan bumbu masak. Sampai di kamar, kucoba lah memasak ikan sardin kaleng, ditambah beragam sayur dan bumbu. Hasilnya? Lumayan. Esok harinya, sayur kangkung yang berkuah bening. Hasilnya? Not too bad. Nah, sudah beberapa hari terakhir ini aku mencoba memasak salah satu makanan favoritku: oseng-oseng kangkung. Hasilnya? Hen hao chi !! Zhen de !!
No comments:
Post a Comment