
Tidak jarang aku menggugat diri sendiri. Apakah deritaku dan derita mereka sebanding dengan apa yang akan kuperoleh di sini. Aku sadar, tidak mudah bagi mereka untuk menjalani hidup tanpa diriku. Apalagi, anak-anakku sedang berada pada periode golden ages, yang sangat membutuhkan kehadiran bapaknya. Tinggal berjauhan dengan keluarga, bagiku, adalah derita yang sungguh menyiksa. Sunyi, Sepi, Sendiri. Itulah gambaran para "bujangan" di negeri orang, saat hampir semua akivitas harus dilakukan sendiri.
Perasaan sepi itu kadang begitu mendera. Bila rasa kangen pada istri dan anak-anak begitu tak tertahankan, beragam aktivitas pun kulakukan untuk sekadar mengurangi siksaannya. Ikut wisata ke Jiji dengan Chinese Language Center, ke Kaohsiung dengan Universitas, pergi menjala ikan bersama para TKI di Shinsih, mengikuti penjelasan ketenagakerjaan (yang harusnya hanya untuk para TKI), barbeque-an dengan para mahasiswa Indonesia dan TKI, serta aktivitas sejenis lainnya.
Namun, kegiatan-kegiatan itu acap tak mencukupi. Jadilah, bila di Indonesia pukul 22.00 biasanya adalah saat bermimpi, di sini kadang itu adalah saat aku baru meninggalkan kampus dan kembali ke dorm. Meski telah belajar hingga larut, namun kadang tengah malam pun mata tak mau terpejam. Bila saat seperti itu tiba, biasanya aku menonton televisi atau mencari kawan senasib dan sepenanggungan. Berombongan, biasanya kami pergi ke Taochang (entah benar atau tidak, kami biasa menyebut demikian warung yang menyediakan semacam martabak dan minuman susu kedelai) atau Mc Donald's (yang buka 24 jam) yang terletak di dekat dorm. Rasanya, sekarang aku akan bisa sangat menghayati sebuah lagu lawas yang entah apa judulnya. Sunyi...sepi...sendiriiiii...............