Saat ini diperkirakan sekitar tiga juta muslim dari seluruh penjuru dunia sedang menunaikan ibadah haji di Arab Saudi, dan lebih dari dua ratus ribu di antaranya berasal dari Indonesia. Karena terbatasnya jatah bagi jemaah dari Indonesia, sementara peminat berhaji selalu membludak, dibuatlah kuota per wilayah. Di beberapa wilayah tanah air, kuota ini bahkan telah penuh hingga beberapa tahun mendatang.
Mereka yang pernah berhaji kerap menyuarakan harapan untuk dapat kembali lagi ke tanah suci. Mereka beralasan, ada dorongan kuat untuk selalu dapat kembali berhaji. Itulah sebabnya, ada banyak orang yang merasa perlu lebih dari sekali ke tanah suci. Sebaliknya, ada pula orang yang meskipun kondisi keungannya memadai namun memutuskan untuk tidak berhaji. Sebagian beralasan "belum ada panggilan". Sebagian lain berpendapat bahwa dalam kondisi seperti saat ini, maka berhaji semestinyalah bukan sebuah prioritas. Berlandaskan "fiqh prioritas" mereka berkeyakinan bahwa sementara masih banyak orang yang bunuh diri karena tak mampu memanggul beban ekonomi, maka hukum pergi berhaji menjadi makruh, bahkan ada pula yang menganggap haram.
Dalam kesendirian, kutatap kalender yang dikeluarkan Masjid Kaohsiung. Menghiasi halaman terakhir kalender, terpampang foto deretan kemah para jemaah di Mina, yang terbelah di sana sini oleh jalan layang lebar dengan bus-bus yang sedang melintas. Penguasa Arab Saudi memang tampak berupaya keras menyediakan beragam fasilitas yang membuat rangkaian aktivitas berhaji menjadi jauh lebih mudah dan nyaman.
Namun, sering aku berpikir, dengan fasilitas yang modern, mewah dan berlimpah itu tentunya tidaklah mudah bagi para jemaah haji untuk menghayati beratnya perjuangan masa lampau ketika menapak tilas dalam ritual haji. Pelaksanaan Sa'i, berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa, misalnya, kini dilakukan pada sebuah terowongan yang amat nyaman, berpenyejuk udara, bahkan lantainya pun dirancang untuk dingin dan nyaman di kaki. Padahal, Sa'i diniatkan untuk menapak tilas perjuangan Siti Hajar dalam mencari air untuk anaknya, Ismail. Saat itu, ia harus bolak-balik berlari di tengah terik panas matahari, di tengah tandus padang pasir antara bukit Safa dan Marwa.
Kegiatan lainnya pun tak berbeda jauh dengan Sa'i. Fasilitas mewah dan modern telah mengubah total wajah tempat-tempat bersejarah yang menjadi landasan pelaksanaan ritual haji. Kadang aku membayangkan, andai aku penguasa Arab Saudi, akan kubuat tempat-tempat bersejarah sedekat mungkin dengan kondisinya pada masa lampau. Alih-alih membangun terowongan untuk Sa'i yang tertutup, nyaman, serta berpenyejuk udara, maka aku akan mempertahankan tanah terbuka dan berpasir antara bukit Safa dan Marwa, namun menanam beragam pohon pelindung untuk mengurangi terik sinar mentari. Aku percaya, dengan begitu, para jemaah akan dapat lebih menghayati bagaimana beratnya perjuangan Siti Hajar...