Benar, kejatuhan Soeharto memang tak dapat dilepaskan dari peran mahasiswa. Berawal dari keputusan MPR yang dengan segala alasan yang tak dapat diterima nalar, mengabaikan perasaan jenuh dan muak rakyat, mengangkat kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang kesekian kalinya. Perasaan marah tak dapat lagi dibendung kala Presiden kemudian mengangkat keluarga dan kroni-kroni dalam Kabinetnya.
Tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti membuat demonstrasi menentang Soeharto menjadi semakin eskalatif. Hingga kemudian polisi yang menjaga gerbang Gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, tak mampu menahan ribuan mahasiswa yang berhasrat masuk ke markas mereka yang menyebut diri sebagai wakil rakyat itu. Sejak saat itulah, para anggota DPR/MPR terusir dari kantornya, digantikan oleh para mahasiswa dari seluruh pelosok, terutama dari wilayah Jabodetabek.
Tentu saja, saya bagian dari puluhan ribu mahasiswa itu. Hanya saja, bedanya, bila mereka "hobi" jalan kaki dari Kampus UI Salemba, misalnya, saya lebih memilih naik taksi. Bila mereka memilih untuk menginap di Gedung DPR/MPR, saya memilih untuk pulang. Pokoknya, saya bagian kelompok mahasiswa yang nggak mau capek dan menderita deh, he..he..he..
Bisa dibayangkan, puluhan ribu mahasiswa tumplek blek di kompleks Gedung DPR/MPR yang sudah ditinggalkan pergi oleh para penghuni resminya. Di halaman, mobil box datang dan pergi membawa nasi bungkus, makanan kaleng, dan minuman dalam kemasan. Kumuh, hiruk pikuk, berantakan, dan kacau balau, itulah istilah-istilah yang tepat menggambarkan suasana saat itu. Setiap mahasiswa (merasa) berhak memeriksa keaslian status mahasiswa lainnya. Bak polisi, mereka memeriksa kartu mahasiswa sesiapa saja yang dicurigai.
Karena hujan acap turun dan lantai tak pernah disapu apalagi dipel, bisa dibayangkan rupa lantai gedung wakil rakyat yang biasanya selalu kinclong. Mahasiswa maupun mahasiswi pun menguasai ruangan-ruangan kerja para anggota DPR/MPR. Pendek kata, mereka pindah kamar kos lah. Saya, yang beberapa kali mengunjungi gedung di bilangan Senayan itu saat normal, membandingkan kondisinya dengan saat itu sebagai : siang dan malam.