Tuesday, May 13, 2008

Kerusuhan Mei, Sepuluh Tahun Lalu

Tepat di seberang Kampus UI Salemba berdiri megah showroom mobil Honda. Kulihat orang-orang berlarian memasuki gerai mobil itu. Dengan wajah beringas penuh kepuasan, orang-orang membawa keluar barang-barang seperti komputer, kursi, dan sejenisnya. Sebagian yang sudah berada di lantai atas membuang begitu saja beragam barang yang ada ke arah jalan Salemba. Barang-barang itu pun kemudian menjadi mangsa api di tengah jalan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan orang, menyemut di depan kampus UI pada petang tanggal 13 Mei itu, tepat sepuluh tahun lalu.

Hari itu, sehari setelah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, kerusuhan merebak di segenap penjuru Ibukota. Asap hitam pun membumbung tinggi di seantero kota. Sementara jalan-jalan menjadi sepi dari lalu-lalang kendaraan, baik pribadi maupun umum. Tak ada yang berani mengambil risiko dengan melintasi gerombolan massa yang sedang kalap. Pilihan bagi para mahasiswa yang saat itu sedang kuliah di Kampus Salemba hanya tersisa dua: pulang berjalan kaki atau menginap di Kampus. Sepanjang yang kuketahui, tak ada yang berani mengambil pilihan pertama.

Jadilah malam itu jalan Salemba hiruk pikuk oleh massa, dan Kampus UI Salemba hiruk pikuk oleh mahasiswa yang (terpaksa) menginap. Untunglah, gedung Magister Akuntansi, tempatku sekolah, memang didesain untuk memberikan kenyamanan (belajar). Malam itu, seluruh sofa pun beralih fungsi menjadi tempat tidur. Tidak seperti hari biasanya, Kampus UI Salemba malam itu juga bersih dari pedagang makanan. Alhasil, malam itu, hanya mie instan yang menjadi pengganjal perut.



Esok harinya, dua orang kawan menjemput dengan sebuah kijang tua. Bertiga, kami melihat kerusakan di seluruh penjuru kota. Hari itu, seluruh jalan tol tiada berpenjaga. Terlihat beberapa anak bermain di tengah jalan. Bekas kerusuhan masih terlihat dari toko-toko yang menghitam berjelaga, serta sisa-sisa bekas bakaran di tengah jalan. Meski konsentrasi massa masih terlihat di beberapa bagian kota, kami tak khawatir. 

Kerusuhan (tampaknya) juga dipicu oleh ketimpangan yang selama itu mereka rasakan. Buktinya, tak ada gangguan sedikit pun ketika kami keliling kota dengan sebuah kijang tua. Hingga suatu saat kami berhenti di daerah Cawang, di mana di seberang jalan terlihat kerumunan massa menguasai jalan. Terlihat olehku, dua orang dewasa dalam sebuah sedan melaju dari arah Pancoran menuju kerumunan massa. Sang pengemudi tampak ragu-ragu bagaimana harus bersikap. Massa yang kalap tak memberi kesempatan dan ampunan. Tak jelas apa yang diayunkan, tetapi kaca mobil terlihat pecah dan sang pengemudi pun terkulai. Dengan kemudi yang diambil alih kawan sebelah, mobil BMW itu kemudian melaju kencang dengan beberapa kali menabrak besi pembatas jalan.

Tak puas hanya melihat dari atas kendaraan, berjalan kaki aku menyusuri sepanjang jalan Otista. Terlihat jelas kerusakan yang ditimbulkan dari kerusuhan. Setelah sempat menghilang, saat itu baru kulihat aparat keamanan dari Korps Marinir menyusuri jalan. Sorenya, meski suasana masih mencekam, kehidupan mulai berdenyut kembali. Pedagang makanan keliling mulai terlihat menyusuri jalanan Ibukota. Seorang pedagang makanan dengan gerobak dorong bercerita dengan bangga hasil jarahannya kemarin. "Besok saya akan menjarah lagi," tekadnya mantap. 

No comments: