Kesibukan untuk berbenah menjelang kedatangan Presiden mungkin muncul karena keinginan untuk memuliakan tamu. Mungkin juga karena harapan agar atasan melihat kita mampu mengemban amanah, melihat hasil kerja kita rapi jali tiada cela.
Saya jadi ingat cerita seorang guru di masa dulu. Seseorang pimpinan sekolah di sebuah daerah merasa tak tahan dengan kondisi jalan di wilayahnya yang begitu buruknya, tak ubahnya kubangan sapi. Menduga bahwa tak ada seorang kepala daerah pun yang akan rela dianggap tak mampu memimpin, dengan cerdik ia mengirim surat kepada Presiden RI saat itu (saya lupa Soekarno atau Soeharto ya...) untuk berkunjung ke sekolahnya meresmikan apaaa gitu (yang ini juga lupa), dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati. Simsalabim, Abrakadabra!!! Dalam sekejab, jalan yang rusak parah menjadi mulus, meski kemudian Presiden tak jadi datang.
Saya sendiri juga punya pengalaman serupa. Beberapa tahun berselang, bersama beberapa orang kawan satu sekolah, kami berniat mendirikan usaha dengan memilih bentuk koperasi. Dari sejak awal, pelayanan di Kandep dan Kanwil Koperasi memang sudah tidak beres. Dibilang kurang ini, ketika sudah dipenuhi, dibilang kurang itu. Macam-macam lah alasannya. Seorang kawan menyarankan untuk memberi uang pelicin agar urusan segera beres. Tetapi, saya yang selalu berusaha untuk tak melakukan hal-hal seperti itu menolaknya, dan mengupayakan sebuah cara lain.
Maka, kutulislah sebuah email kepada Presiden Habibie, dengan tembusan ke Menteri Koperasi, mengeluhkan buruknya pelayanan birokrasi jajarannya. Setelah itu, email itu kucetak, kumasukkan amplop, dan kuserahkan langsung ke sekretaris Kakanwil. Simsalabim, Abrakadabra!!! Entah karena Habibie atau Menkop baca emailku, ataukah Kakanwilnya ngeper dilaporkan ke atasannya, yang jelas esok harinya ada petugas yang meneleponku, "Pak, segala izin telah selesai. Silakan diambil."
No comments:
Post a Comment