Tadi malam, selama sekitar dua jam, aku menyaksikan film Laskar Pelangi melalui Youtube. Sebenarnya, sudah sejak sekitar satu tahun lalu aku memiliki e-book Laskar Pelangi. Tidak berapa lama kemudian, kubeli pula edisi cetaknya. Akan tetapi, hingga sekarang keduanya belum pernah kubaca. Jadilah, semalam merupakan perjumpaan pertama dengan Laskar Pelangi.
Meskipun kisah Laskar Pelangi berlatarbelakangkan keadaan di Belitong, sebuah pulau kecil di Provinsi Bangka Belitung, pada masa 1970-an, namun sesungguhnyalah kondisi di film itu masih amat jamak dijumpai saat ini di banyak wilayah lain di Indonesia. Tak perlulah pergi jauh ke pelosok negeri bila hanya ingin menjadi saksi kondisi memprihatinkan sarana pendidikan di tanah air. Di beberapa wilayah di Jakarta pun, ibukota negeri kita, atap bocor, langit-langit menganga, atau tembok yang hampir runtuh, amat mudah ditemukan.
Di film itu juga dikisahkan tentang gaji guru, yang meski jumlahnya kecil pun, sering tertunda pembayarannya. Sekarang pun, setelah hampir 64 tahun merdeka, masih acap kita dengar berita bagaimana gaji guru di beberapa tempat yang hanya berbilang Rp 100.000 - Rp 200.000 tidak dapat diterimakan tepat waktu. Jadilah, cerita seorang guru yang setelah menunaikan tugas sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kemudian berkarya sebagai tukang ojeg atau pemulung sering kita baca di media massa.
Ironisnya, pada saat yang hampir bersamaan, kondisi yang bertolak belakang tidak jarang terjadi, yang membuat kita layak mempertanyakan kebenaran arah perjalanan kita sebagai sebuah bangsa selama ini.
Lihatlah, di saat banyak murid menyabung nyawa bersekolah di gedung yang atapnya hampir ambruk, beragam tugu peringatan miliaran rupiah didirikan. Di saat gaji guru yang hanya seratusan ribu rupiah tidak mampu dibayarkan, mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah ludes terjual. Di saat ada murid sekolah menggantung diri karena malu tak mampu membayar uang sekolah, ribuan orang antre hingga tengah malam untuk membeli sebuah iPhone seharga lebih dari sebelas juta rupiah. Dan daftar pun bisa menjadi sangat panjang. Ironi sebuah negeri yang (konon) menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu falsafah hidupnya...