Waktu baru menunjukkan pukul 2.35 pagi, ketika pintu kamarku diketok. Padahal, aku baru terlelap tidak lebih dari 15 menit. "Anaknya Mas Ely meninggal dunia," ujar Mas Samsul di depan pintu, membuat mataku yang masih mengantuk langsung terbelalak.
Subuh itu, hampir semua mahasiswa asal Indonesia berkumpul di kamar 209, markas Mas Feri dan Mas Samsul. Sebagian menenangkan Mas Ely yang tampak sangat berduka, sebagian mencari kepastian berita dari Surabaya, sebagian yang lain mencari info jadwal keberangkatan pesawat ke Indonesia.
Seusai sholat shubuh, kami berjalan bersama ke pintu gerbang dorm, menuju mobil Jonas, mahasiswa IMBA asal Taiwan, yang berbaik hati mau mengantar ke Bandara Kaohsiung. Perjalanan ke Kaohsiung lebih diisi dengan percakapan mengenai kemungkinan penyakit yang diderita anak Mas Ely, yang baru berusia 1,5 tahun. Masalah muncul setiba di Bandara Kaohsiung. Tiket return yang dimiliki Mas Ely, ternyata tidak dapat langsung digunakan hari itu. Sedangkan harga tiket baru mencapai NT$ 25,000 untuk one way, sementara dalam kondisi normal, tiket bolak-balik bisa diperoleh di travel agent dengan harga hanya NT$ 10,800.
Kami berlima, Jonas, Mas Ely, Mas Feri, Mas Samsul, dan aku pun kemudian kembali ke Tainan. Namun, semua biro perjalanan ternyata masih tutup karena liburan mid-autum festival. Untungnya, seorang kenalan Jonas yang memiliki sebuah biro perjalanan mau datang ke kantornya untuk membereskan permasalahan tiket. Ternyata seluruh seat telah habis untuk semua perjalanan ke Indonesia di hari tersebut. Akhirnya, Mas Ely pun hanya bisa pasrah untuk berangkat esok sore harinya. Innalillahi wa inna Ilaihi rojiun.