Wednesday, December 27, 2006

Earthquake

"Is it an earthquake?", aku bertanya. Dengan santai, sambil tetap mengetik, ia menjawab "Yes." Demikianlah percakapanku dengan teman sebelahku sekitar satu jam yang lalu, ketika gedung tempat kami berada terasa diguncang gempa hebat hingga terasa bergoyang (dari berita kemudian diketahui gempa ini berkekuatan 5,9 skala richter). Orang Taiwan tampak santai, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan gempa (Taiwan terletak di dekat persimpangan dua lempeng tektonik) ditambah keyakinan mereka terhadap kualitas bangunan. Konon, bangunan-bangunan di Taiwan didesain untuk tahan gempa berkekuatan hingga 7 skala richter.

Namun, suasana sedikit berbeda terlihat semalam, sekitar pukul 20.26. Saat gempa pertama terjadi, sama sekali tidak terlihat kepanikan. Orang-orang tetap santai melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Bahkan kuliah tetap berlangsung. Namun, sekitar delapan menit kemudian, guncangan keras terasa diiringi padamnya aliran listrik (entah mana yang benar, menurut berita gempa saat itu berkekuatan 6,7 skala richter, sementara media masa di Indonesia menyebutkan 7,1 skala richter). Kontan orang-orang berlarian menuju ruangan terbuka. Tidak seperti biasanya, malam itu banyak orang memutuskan pulang lebih awal (kampus biasanya mulai sepi pukul 22.00, bahkan banyak yang beraktivitas hingga tengah malam), meski gedung-gedung telah terang kembali.

Sesampai di dorm, orang-orang masih berkumpul di lapangan, berjaga-jaga bila terjadi gempa susulan, sementara beberapa Taiwanese dengan berani memutuskan kembali ke kamarnya. Tampaknya, mereka memang telah terbiasa dengan gempa. Bagi banyak foreigner, gempa tadi malam adalah pengalaman pertama mereka. Seorang teman dari kawasan Afrika Utara, bahkan menuntun sepedanya untuk jarak yang cukup jauh karena tidak memiliki daya lagi untuk mengayuh. "I want to leave Taiwan," ujarnya serius.