Pagi itu, sebagaimana telah disepakati, kami berkumpul di Jalan Diponegoro, dekat Bioskop Mega21. Demi kepraktisan, kami berlima kemudian hanya menggunakan satu mobil seorang kawan. Mobil kemudian meluncur menuju Jalan Cendana yang bukan dari arah Taman Suropati, yang memang selalu gaduh dengan para mahasiswa yang menuntut mantan Presiden Soeharto segera diadili (waduh sudah lama, saya nggak hafal lagi nama-nama jalannya). Jalan Cendana sendiri tampak lengang. Kami mengamati, ada banyak intel sedang bertugas di beberapa bagian jalan. Di ujung jalan, seorang tentara memberhentikan kami. Tampaknya, kedatangan rombongan kami telah dikomunikasikan, karena ia sepertinya telah mengetahui rencana kedatangan kami.
Menjelang sampai tujuan, tentara yang lain lagi memberhentikan kami. Setelah mengetahui identitas kami, ia segera mempersilakan kami untuk menuju rumah bernomor 8, kediaman Pak Harto. Meski tak lagi menjadi presiden, kami tetap harus menjalani prosedur resmi, termasuk pemeriksaan melalui metal detector. Kemudian kami dipersilakan menanti di ruang tunggu. Tak lama kemudian, kami pun berjumpa (kembali) dengan sosok yang menjadi penguasa Indonesia selama 32 tahun.
Memang, pertemuan itu berlangsung hanya beberapa hari setelah kami juga turut "menduduki" gedung DPR/MPR yang berujung pada lengsernya Pak Harto. Sejak saat itu, di mana-mana orang, terutama mahasiswa, menuntut agar ia segera diadili. Karena itu, tidaklah mengherankan bila pada awal pertemuan beliau bertanya, "Kalian menemui saya, apa tidak takut pada para mahasiswa lain yang menuntut saya diadili?" Menemui Soeharto pada saat semacam itu memang bukan sebuah pilihan yang populer, bila tak bisa disebut tindakan yang berani. Namun kami percaya dengan kebenaran petuah untuk menemani raja yang jatuh.
Perbincangan kami dengan beliau berlangsung dengan santai dan akrab. Namun, sayangnya, meski kami telah berusaha sedemikian rupa agar beliau percaya dan terbuka dengan kami, namun kami merasakan beliau masih banyak mengemukakan jawaban-jawaban yang terkesan normatif. Ah, tak terasa waktu menunjukkan saatnya kami harus menunaikan sembahyang Jumat. Sebelumnya, kami berlima dengan jaket kuning pun berfoto bersama dengan beliau. Beliau pun mengundang kami untuk menunaikan sembahyang Jumat di situ. Kami yang tak menyangka dengan tawaran itu pun segera mengiyakan.
Rumah di Jalan Cendana 8 itu sebenarnya terdiri atas dua rumah yang digabung. Ibadah sembahyang Jumat diselenggarakan di sebuah ruangan yang lega dengan beragam hiasan yang indah. Yang menarik adalah adanya beragam bunga anggrek nan indah. Almarhumah Ibu Hartinah Soeharto memang penggemar bunga anggrek. Pada saat itulah kami melihat, bahwa meski tak lagi menjabat Presiden, Pak Harto tetaplah tokoh yang dihormati. Beberapa tokoh dari beragam kalangan tampak datang untuk mengikuti sembahyang Jumat di situ.
Siang ini, hampir sepuluh tahun kemudian sejak kejadian itu, sekitar pukul 13.10 WIB, Pak Harto telah meninggal dunia. Sebagai orang yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa, amatlah wajar bila berita kematiannya ditanggapi beragam. Namun, yang pasti, kematiannya mengingatkan kembali kepada kita tentang satu hal, bahwa setiap orang pasti dijemput mati. Dan tiada hal lain yang akan kita bawa serta, kecuali amal baik selama berada di dunia. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
No comments:
Post a Comment