Tuesday, April 01, 2008

My Wife is a Chinese

Siang itu, Hanan, anak sulungku, pulang dari sekolah dengan bersungut-sungut. Hasil ulangan yang dibagikan hari itu tak sesempurna seperti biasanya. Ada satu soal yang disalahkan oleh gurunya, yakni pada pertanyaan yang berbunyi : "Dari manakah asal ibumu?" Dengan pengetahuan yang dia miliki, dengan mantap ia menuliskan jawabannya : Cina. Dan, gurunya pun menghadiahkan silang, tanda bahwa jawabannya disalahkan.

Tentu saja, kemudian ia mengadu kepada ibunya, dan juga kepadaku pada saat jadwal rutin menelepon ke rumah. Aku juga tak faham, bagaimana gurunya bisa menyalahkan jawaban anakku. Padahal, dengan model pertanyaan terbuka semacam itu, jawaban apa pun bisa benar. Apalagi, aku masih ingat, kala mengisi bio data orang tua, kutuliskan di kolom suku bangsa dengan Jawa untukku, sedangkan istriku kutuliskan : Tionghoa.

Memang, tak banyak yang segera percaya setiap kali kubilang bahwa istriku keturunan Tionghoa. Meskipun berkulit amat putih, tetapi ia memiliki mata yang lebar. Kuingat bagaimana seorang mahasiswa Teknik Kimia NCKU asal Surabaya, bahkan beberapa kali mengulangi pertanyaan yang sama untuk meyakinkan dirinya, "Benar... istri Bapak... Chinese???" (barangkali ia tak percaya, ada seorang keturunan Tionghoa memilih menikah dengan lelaki berkulit gelap sepertiku, he..he..he..). Sesungguhnyalah, aku pun baru tahu bahwa istriku berketurunan Tionghoa bahkan lama setelah menikah. "Wah, taarufnya kurang tuh...," ledek seorang mahasiswi lain asal Bukittinggi. Sayang, ia meledek lewat instant messenger, sehingga tak dapat kulihat wajahnya yang pasti kebingungan menanggapi kala balik kujawab, "Memangnya, itu hal yang penting?", karena aku percaya ia hafal benar makna firman Allah dalam Qur'an 49:13 yang berbunyi:



Menikah dengan pasangan yang berbeda budaya sesungguhnyalah sungguh amat berwarna, meski tak urung kerepotan-kerepotan kecil acap muncul. Anak-anakku, misalnya, sering dengan bingung bolak-balik bergantian memandangi wajah Bapak dan Ibunya yang mengajari melafalkan kata-kata dengan cara yang amat berbeda. Kata-kata "batik, kotak, bebek" serta kata-kata lainnya yang berakhiran dengan huruf "k" selalu kulafalkan seperti "hamzah" dengan bunyi "k" lemah, sementara istriku selalu melafalkannya seperti "kaf" dengan bunyi "k" kuat. Belum lagi deretan istilah yang berlainan.

Hal-hal lucu juga sering muncul tak terduga. Menyadari kenyataan kulitku agak berbeda (jauh) dengan anak-anakku, istriku sering menggoda kemungkinan orang tak akan percaya bahwa anak yang kugendong adalah anakku. Dan itu sungguh terjadi. Pada suatu sore, aku sedang menggendong anak bungsuku, ketika seorang tukang pencatat meteran listrik masuk halaman rumah. Seusai menjalankan tugasnya, sebelum pamit ia sempat bertanya dengan muka serius dan sama sekali tidak tampak sedang bercanda, "Ini anak siapa, Pak?"

2 comments:

Anonymous said...

assalamualaikum,
salam kenal pak Ali... :)
ceritanya cukup lucu

阿里 Ali Mutasowifin said...

Salam kenal kembali. Terima kasih.