Monday, June 11, 2007

豬 (Ask Me the Taste of Pork)

Siang itu, selesai kuliah, bersama seorang kawan mahasiswa Ph.D asal Indonesia yang fasih berbahasa mandarin, aku menyusuri gang depan kampus yang penuh dengan deretan warung-warung makan aneka rupa. Pilihan kami pun jatuh kepada sebuah rumah makan dengan interior lega, iringan musik indah, yang belum lama beroperasi.

Temanku memilih menu daging babi, sementara aku memesan ikan, keduanya biasanya disajikan di atas piring panas. Sebelum masakan siap, seorang pelayan datang membawakan sup sebagai appetiser. Karena sudah lapar, kami berdua segera menyantapnya. Tiba-tiba, setelah sekitar tiga atau empat suapan, temanku itu tampak terkejut, lalu segera memanggil sang pelayan.


Dengan bahasa mandarin yang lancar, ia bertanya apakah daging yang ada dalam sup adalah daging babi. Ketika sang pelayan membenarkan, berulang-ulang temanku ini meminta maaf kepadaku. Tinggallah sang pelayan yang terbengong-bengong, tak faham apa yang terjadi. Setelah temanku menjelaskan padanya bahwa sebagai seorang muslim aku tak diperbolehkan memakan babi, tak pelak ia pun berulang kali membungkukkan badan sambil berucap "dui bu qi, dui bu qi...."

Setelah kejadian itu, aku mulai berhati-hati kalau memesan makanan. Pada setiap warung makan yang baru pertama kali kukunjungi, biasanya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu, "Wo shi hui jiao tu, wo bu ke yi chi zhu rou" (saya muslim, saya tidak makan babi). Sebagian besar warung langganan telah hafal dengan hal ini, sehingga mereka akan selalu memberitahu masakan yang tersedia yang mengandung babi.

Akan tetapi, hal ini tidaklah menjamin makanan yang masuk ke perut kita sama sekali tidak mengandung babi. Pada suatu petang, seusai kuliah, bersama teman yang sama dengan pengalaman pertama di atas, aku masuk ke sebuah warung makan hot pot. Dengan mantap, kupesan seporsi dengan isi seafood, dengan keyakinan akan bebas dari unsur babi. Namun, temanku ini kemudian menginterogasi pelayan warung makan, menanyakan kuah/kaldu yang akan dipakai, yang kemudian diketahui adalah kaldu kaki babi. Wuih, untung deh.....

Namun, tak setiap orang "seberuntung" aku. Seorang kawan asal Indonesia di Program Ph.D yang sama denganku menuturkan sebuah pengalamannya. Suatu hari, karena sibuk ia meminta seorang temannya yang fasih berbahasa mandarin untuk membelikan mie favoritnya di sebuah warung langganannya selama setahun terakhir. Tak berapa lama, sang teman menghubunginya untuk mengabarkan pertanyaan keheranan dari pedagang mie langganannya, "Temanmu dari Indonesia itu aneh sekali. Masak dia menolak daging babi, tapi tidak masalah dengan kaldu babi....". Ternyata, dalam persepsi sang pedagang, yang tidak boleh hanyalah daging babi, sedangkan sup/kaldu babi diperbolehkan, sehingga meski temanku ini setiap kali memesan telah memberitahu untuk tidak menggunakan daging babi, tetap saja ia memberi "bonus" kaldu babi. Bayangkan, itu telah berlangsung selama lebih dari satu tahun.....

Memang, sungguh tidak mudah menemukan makanan di Taiwan yang tidak mengandung unsur babi. Mereka menggunakan babi, barangkali pada hampir seluruh masakan. Kata kawan-kawan Taiwan, daging babi, kaldu babi, minyak babi, membuat masakan menjadi lebih sedap dan tahan lama. Zhen de ma?