Aku melangkah dengan lunglai. Menurut course list, kuliah akan diselenggarakan dalam bahasa mandarin. Ruangan telah penuh sesak saat aku masuk. Seorang mahasiswi senior masuk, ngomong beberapa saat, sebelum kemudian membagikan kertas dan pena kepada setiap mahasiswa di ruangan. Oh, rupanya dia sedang membagikan kuesioner, dan meminta para mahasiswa untuk membantu mengisinya. Ketika sampai padaku, kulihat seluruh kuesioner ditulis dalam aksara mandarin. "I cannot read chinese characters," kataku sambil mengembalikan kuesionernya. Ia tampak terkejut, dan bertanya asalku. Kala kujawab Indonesia, ia membalas hangat, "Welcome!"
Tak lama kemudian, masuklah sang profesor, berusia sekitar 60 tahun, berkacamata dan berkaos kerah warna pink. Seperti para pengajar yang lain, ia kemudian menjelaskan course outline, grading, textbooks dan sejenisnya. Tentu saja itu hanya perkiraanku saja, karena sang profesor menjelaskan seluruhnya dalam bahasa mandarin berkecepatan sangat tinggi.
Kala break, aku maju menemuinya. Seperti sebelumnya, kujelaskan dari mana asalku, serta kendala bahasa yang kumiliki. Dia tampak terkejut, dan bertanya, apakah aku mengerti yang tadi diterangkannya. Dengan mantap kujawab, "Not at all, Professor." Namun, dia tidak keberatan aku tetap di kelasnya. Dan kala kukeluhkan course grading yang 20% akan berasal dari class participation, dia menjawab ramah, "It's OK. Don't worry about it." Alhamdulillah.