Tak pelak lagi, Natal adalah perayaan paling semarak dalam kalender umat Kristiani sejagat. Pemeluk Kristen yang jarang mengunjungi gereja pun biasanya tak melewatkan kesempatan merayakan hari raya yang sebagian umat meyakini jatuh pada tanggal 25 Desember, sementara sebagian yang lain merayakannya di awal Januari.
Kemeriahan perayaan Natal juga disumbang oleh bertransformasinya Natal dari sekedar aktivitas keagamaan menjadi sebuah kegiatan budaya dan komersial. Setidaknya, hal inilah yang tampak terlihat jelas di Taiwan. Padahal, sekitar 93% dari 23 juta penduduk Taiwan adalah penganut tradisi yang merupakan perpaduan antara Budha, Konghucu, serta Tao, dan hanya 4,5% saja yang memeluk Kristiani. Akan tetapi, bila melihat hiruk pikuk penduduk dalam menyambut perayaan Natal, terasa seolah-olah Kristen adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.
Demikian juga yang terlihat di Tainan, sebuah kota budaya yang juga ibukota Taiwan masa lampau. Sejak sebulan sebelum hari Natal tiba, seluruh penjuru kota telah sibuk berhias. Pohon terang terlihat dipajang di sekolah, universitas, pusat perbelanjaan, kantor, asrama, juga di tempat-tempat publik lainnya. Sosok penjaga toko berpakaian ala sinterklas amat lazim ditemui. Lagu-lagu Natal pun menjadi akrab di telinga. Di beberapa sudut kota, tak jarang terlihat sekelompok orang memainkan alat musik, melantunkan kidung-kidung Natal. Bahkan, terdapat beberapa pertunjukan musik dan kemeriahan lainnya yang sengaja diselenggarakan secara khusus guna merayakan Natal.
Pohon terang beragam ukuran dan bermacam-macam hiasan Natal juga dipajang di hampir setiap lantai di departemen tempat saya belajar, yang menempati sebuah gedung berlantai tujuh. Saya pernah bertanya kepada seorang staf departemen tentang kemungkinan banyak mahasiswa yang beragama Kristen sebagai alasan pemasangan ragam atribut Natal itu. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jawabnya. Apakah para dosennya? Ternyata, meskipun hampir seluruhnya lulusan Amerika Serikat, tidak satu pun yang memeluk Kristiani. “Lalu, mengapa tampak bersemangat memajang pohon terang?” tanyaku ingin tahu. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak punya jawabannya. Segala kemeriahan itu semakin terasa janggal bila mengingat bahwa hari Natal bahkan bukan merupakan hari libur. Kantor-kantor tetap buka dan sekolah-sekolah pun tetap masuk.
Memang, berlainan dengan di Indonesia yang perayaan Natal selalu juga berperspektifkan teologis, perayaan Natal di Negeri Formosa ini lebih condong sebagai peristiwa budaya dan komersial. Persis sama dengan saat orang merayakan tahun baru. Karenanya, meski bukan penganut Kristen, mereka rela menembus malam-malam yang menggigil di tengah musim dingin dan dengan penuh semangat memadati pusat-pusat perbelanjaan, memborong pernak-pernik Natal, mengirim kartu Natal, memasang hiasan Natal, dan dengan riang hati mengucapkan selamat Natal kepada semua orang. Karena itu, tak jarang kulihat wajah-wajah terkejut, heran, tak mengerti, dan penuh tanda tanya, ketika banyak kawan mengucapkan selamat Natal kepadaku namun mendapatkan jawaban aneh nan tak terduga, “Sorry, I am a Muslim and I don’t celebrate Christmas.”