Menjaga wudhu termasuk hal sulit untuk dapat saya lakukan. Khawatir wudhu batal dan merasa lebih nyaman berwudhu setiap salat membuat saya kewalahan ketika berada di Taiwan, di mana Islam masih merupakan kata yang terdengar aneh di telinga. Tidak tersedianya tempat khusus untuk berwudhu memberikan saya kesempatan melaksanakan beberapa tuntunan fikih yang sebelumnya belum pernah saya kerjakan.
Salah satu contohnya adalah ketika mengikuti kelas bahasa Mandarin di Chinese Language Center (CLC) NCKU, yang disediakan gratis untuk mahasiswa internasional sekali seminggu selama 3 jam dari pukul 15.10-18.00 dengan istirahat 10 menit setiap jamnya. Salat ashar dan magrib terpaksa harus dikerjakan di CLC karena bila mengerjakan salat magrib di gedung Teknik Kimia tidak akan terkejar, selain waktu magrib yang singkat juga karena pukul 18.10 ada kuliah lagi di Teknik Kimia.
Sedangkan keadaan di CLC dengan waktu istirahat cuma 10 menit dan mobilitas orang di rest room yang cukup tinggi tidak memungkinkan saya untuk menutup pintu rest room ketika mengambil wudhu. Akhirnya setelah memikirkan cara terbaik, saya mengambil ruksah untuk mengusap sepatu ketika berwudhu. Alhasil dengan bersepatu dan menggunakan jaket sebagai alas salat saya pun menunaikan salat di ruang kelas yang kosong.
Ini menjadi salah satu bukti kalau Islam itu bukanlah agama yang mempersulit kita. Sabda Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih- lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.”
[~HR. Al-Bukhari (no. 39), Kitabul Iman bab Addiinu Yusrun, dan an-Nasa’i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu~]*
*Suryaneta Masrul is a master student at Department of Chemical Engineering, NCKU, Taiwan. Some parts of this article have been edited by Ali Mutasowifin.





Ketika tiba kembali di Taiwan, beragam kejadian tak menyenangkan kualami. Pertama, kala di Bandara Kaohsiung, petugas bea cukai menyita dua bungkus abon yang kubawa. Katanya, Indonesia sumber penyakit kuku dan mulut. Kedua, sesampai di dorm, ternyata kamar tidurku telah ditempati oleh seorang mahasiswa Taiwan. Memang, kantor urusan International Students NCKU telah beberapa kali menyuruhku pindah ke North Building. Tetapi, aku selalu menolak sambil mempertanyakan alasan pemindahan seluruh mahasiswa asing dari South Building. Mereka tak pernah bisa menyampaikan alasan yang kuat tentang hal itu, namun tanpa ba bi bu langsung menempatkan seorang mahasiswa Taiwan di kamarku. Akhirnya selama beberapa hari aku harus menumpang di kamar 209, tempat Mr. Feri dan Mr. Samsul tinggal.
Sejak di Indonesia, aku sendiri sesungguhnya tak biasa (dan tak bisa) memasak. Biasanya, hanya masak nasi menggunakan rice cooker. Atau, paling-paling, membantu istri menyiapkan bahan-bahan masakan. Tapi, kupikir-pikir, masa sih tak ada kemajuan? Kata orang, alah bisa karena terpaksa. Lalu, dengan bersepeda pergilah aku ke RT-Mart, membeli peralatan memasak, beberapa macam sayur dan bumbu masak. Sampai di kamar, kucoba lah memasak ikan sardin kaleng, ditambah beragam sayur dan bumbu. Hasilnya? Lumayan. Esok harinya, sayur kangkung yang berkuah bening. Hasilnya? Not too bad. Nah, sudah beberapa hari terakhir ini aku mencoba memasak salah satu makanan favoritku: oseng-oseng kangkung. Hasilnya? Hen hao chi !! Zhen de !!











